Monday, April 28, 2008

refleksi: jeanne (13)

Jumat, 25 April 2008, saya bersama teman saya, Florence mewawancarai penjual masakan padang di daerah Otto Iskandardinata. Sewaktu saya datang, Bapak Sardi sedang melayani seorang pembeli yang ingin membeli masakan Padang. Saya sedikit merasa tidak enak sewaktu ingin mewawancara beliau karena takut mengganggu aktivitasnya. Namun ternyata ia tersenyum sewaktu kami berkata ingin mewawancara beliau.
Bapak Sardi merupakan sesosok pria setengah baya yang sangat sederhana dan murah senyum. Setelah mendengar kisah hidupnya, hati saya sangat terketuk Ia sangat gigih untuk bertahan hidup. Meskipun ia hanya berjualan, dengan penghasilan yang tidak menentu, dan istrinya hanya bekerja sebagai buruh cuci, namun ia tetap berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus. Bahkan anaknya ada yang melanjutkan sampai ke jenjang SMA.
Ia mengaku bahwa penghasilannya dan istrinya seringkali dirasa kekurangan, apalagi setelah bahan-bahan pangan harganya semakin naik sekarang ini. Otomatis keuntungan yang didapat juga akan semakin berkurang. Namun, ia selalu berusaha untuk mencukupi semua kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan penghasilan yang pas-pasan tersebut.
Saya jadi merasa berdosa karena saya seringkali merasa kekurangan, dan selalu meminta ini-itu pada orang tua saya. Tetapi setelah mendengar kisah Bapak Sardi, saya jadi tergerak untuk dapat memprioritaskan apa yang menjadi kebutuhan saya dan tidak menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang kurang penting.
Semoga Tuhan selalu memberkati Bapak Sardi dan kita semua :)

refleksi: florence (08)

Pada hari Jumat, 25 April 2006, saya dan teman saya, Jeanne mewawancarai seorang penjual masakan Padang di daerah Otto Iskandardinata. Setelah saya mewawancarai Bapak tersebut saya bisa merasakan beberapa hal,ternyata berjuang untuk membiayai hidup bukanlah hal yang mudah, butuh perjuangan dan kerja keras untuk bisa mencari nafkah untuk membiayai hidup. Bapak tersebut yang sudah bekerja keras dan membanting tulang setiap harinya hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara pas-pasan. Mau tidak mau Bapak harus berhemat dan mengetatkan pengeluaran supaya semua kebutuhan yang penting dapat terpenuhi, supaya uang yang didapatkan tidak terbuang sia-sia untuk hal yang kurang mendesak.
Saya merasa bersalah dan merasa sangat kecil setelah bertemu bapak itu, saya merasa disadarkan kembali. Selama ini sering saya membeli barang-barang yang sebenarnya kurang berguna dengan uang orang tua, saya juga sering membeli barang karena lapar mata, dan nantinya tidak akan terpakai. Saya telah banyak sekali menghabiskan uang orang tua untuk hal-hal yang hanya untuk kesenangan sesaat. Padahal diluar sana banyak sekali orang yang benar-benar susah untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Bahkan banyak juga yang memenuhi kebutuhan pokok saja tidak bisa.
Maka itu kita yang kebutuhan hidupnya masih dibiayai oleh orang tua seharusnya jangan menghambur-hamburkan uang orang tua untuk sesuatu yang sebenarnya kurang penting, seharusnya kita membantu orang tua untuk berhemat.Karena orang tua sudah bersusah payah dan bekerja keras untuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kita. Orang tua juga sudah berbaik hati membiayai kita bersekolah, maka kita seharusnya belajar dengan baik dan benar , bukannya malah bermalas-malasan dan menyia-nyiakan apa yang telah diberikan orang tua pada kita.

wawancara bersama Bapak Sardi, penjual masakan padang

Florence & Jeanne (FJ): Sudah berapa lama Bapak bekerja menjadi penjual nasi padang?
Bapak Sardi (S): Yah, kira-kira dari tahun 2003 yang lalu. Lumayan untuk ngasih makan istri dan anak-anak.

FJ: Biasanya dalam sehari dapat penghasilan berapa, Pak?
S: Wah, nggak tentu juga, Mbak. Tergantung lagi banyak yang beli atau nggak. Kalau lagi ramai pembeli sehari bisa sampai Rp 150.000,00. Tapi kalau lagi sepi saya pernah cuma dapat Rp 30.000,00.

FJ: Bapak tinggalnya dimana sekarang?
S: Nggak jauh dari sini, Mbak. Di gang seberang Gereja situ.

FJ: Rumah Bapak sudah jadi milik atau masih mengontrak, Pak?
S: Saya belum mampu beli rumah, Mbak. Rumahnya masih ngontrak. Buat makan sehari-hari aja udah pas-pasan, belom lagi buat biaya sekolah anak-anak.

FJ: Apakah Bapak memang ingin berjualan nasi padang seperti sekarang?
S: Tadinya sih saya ingin kerja kantoran, Mbak. Tapi saya hanya lulusan SD. Lulusan SD seperti saya mau kerja apa di kantoran? Jadi saya milih dagang aja, Mbak. Kalau dagang kan tiap hari pasti dapet uang, meskipun nggak banyak. Yang penting saya bisa ngasih makan istri dan anak-anak saya, dan yang penting halal, Mbak.

FJ: Oh, begitu ya Pak. Kalau makanan yang dijual disini siapa yang memasak, Pak?
S: Yang memasak makanan disini istri saya, Mbak. Kebetulan istri saya memang orang Padang, jadi lumayan enak kalau bikin masakan Padang.

FJ: Apa karena itu Bapak memilih berjualan nasi padang ya, Pak?
S: Iya, Mbak. Selain itu saya liat disini belum ada yang jualan nasi padang, jadi saya milih jualan nasi padang.

FJ: Kalau istri Bapak bekerja juga atau tidak, Pak?
S: Istri saya setiap hari jadi tukang cuci rumahan, Mbak. Tiap hari dia nyuci di rumah orang-orang. Lumayan buat nambah penghasilan keluarga saya.

FJ: Penghasilan istri Bapak biasanya berapa ya?
S: Kalo istri saya dibayarnya tiap bulan, Mbak. Dari 1 rumah kira-kira dia dapet sekitar Rp 100.000,00-an. Dia kerja di 3 rumah.

FJ: Kalau boleh tahu anak Bapak ada berapa ya?
S: Anak saya ada 4 orang, yang 1 sudah kawin, dan yang 3 masih tinggal sama saya dan istri.

FJ: Apakah dengan penghasilan Bapak dan Ibu dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari?
S: Yah, Alhamdullilah selama ini saya masih bisa ngasih makan anak-anak dan nyekolahin anak-anak, Mbak. Yang satu masih SMA dan yang dua lagi masih SD.

FJ: Apakah Bapak pernah merasa kekurangan dengan penghasilan Bapak?
S: Kadang-kadang saya ngerasa kekurangan, Mbak. Tapi yah saya usahain dicukup-cukupin. Kalo ngerasa nggak cukup melulu susah juga. Abisnya mau gimana lagi, emang udah nasib begini.

FJ: Kalau begitu terima kasih atas waktunya, Pak.
S: Sama-sama, Mbak.

Begitulah wawancara kami dengan Bapak Sardi, seorang yang sangat sederhana namun tetap gigih dalam menjalani hidup.

Sunday, April 27, 2008

Refleksi dua pribadi (ehhe)

Maria Alda Prawitera

Yang pertama muncul di pikiran saya adalah bahwa saya salut akan beberapa perkataan yang telah dilontarkan ibu ini. Dia menyebutkan bahwa meskipun ia hanya jadi tukang pijat, tidak apa-apa yang penting pekerjaan itu halal. Saya sangat salut karena seperti kita ketahui sudah banyak sekali orang di Jakarta yang telah ditumpulkan hatinya oleh tuntutan kebutuhan hidup hingga mereka pun rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang termasuk dengan cara yang tidak halal sekalipun.

Ibu ini tahu bahwa misalnya dengan mencuri, atau misalnya dengan penjualan makanan palsu, ia bisa mendapat jauh lebih banyak uang. Namun apa yang terjadi? Ia bahkan tidak pernah sekalipun menetapkan harga tetap untuk pembalasan jasa yang telah diberikannya itu kepada para pelanggan.

Ia bahkan mengerti dan mengatakan, “Yah.. tergantung kondisi keuangan orangnya aja..” ia tahu ia berkekurangan. Ia bahkan mengatakan ia sering merasa seperti itu, tapi ia pun juga bia memahami kondisi keuangan orang lain. Ia tidak egois dan dengan sepenuh hati rela membantu orang dalam hal kesehatan karena faktor kurangnya pendidikan di waktu mudanya.

Selain itu, saya juga tertarik ketika ia mengatakan bahwa ia mempunyai 4 orang anak yang sudah besar-besar. Saya menyimpulkan hal itu karena dua diantaranya sudah menikah dan mempunyai keluarga masing-masing. Yang saya ingin tekankan disini adalah bahwa ia sanggup menyekolahkan anak-anaknya dari kecil hingga besar. Semurah-murahnya biaya sekolah, apa mungkin seorang tukang pijat dapat membiayai empat anak sekaligus seperti itu? Saya yakin sekali ibu ini bekerja keras, terutama dalam hal tenaga, demi keluarganya itu. Dan yang saya yakini juga, Ibu ini pasti memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi anak-anaknya. Misalnya dalam hal bekerja.

Yang keempat, saya salut sama ibu ini karena meskipun suaminya sudah berprofesi menjadi kuli bangunan yang bisa membawa pulang Rp.200.000,- sekali pekerjaan, Ia tidak tergantung pada suaminya. Ia pun ingin membantu mencari nafkah. Menurut saya, mungkin tanpa ia sadari, ini merupakan salah satu bentuk emansipasi wanita! Dimana seorang wanita (terutama seorang ibu seperti dia yang sudah berkeluarga) tidak hanya dapat duduk di dapur dan mneyajikan makanan, tetapi turut ikut mencari nafkah. Dan sekali lagi saya tekankan : Yang penting halal..

Sekian refleksi saya! Saya salut sama ibu ini dan berharap lebih banyak lagi orang-orang yang mempunyai pola pikir seperti dia..terutama bagi kaum yang berkekurangan.


Maria Alda Prawitera (18)


***

Jovita Ayu Liwanuru

Hidup ibu Haji Komariah yang sederhana itu membuat saya terbuka matanya. Bahwa masih banyak orang bekerja keras untuk mempertahankan hidup di luar sana. Mungkin ibu Haji tersebut bukan yang paling tidak beruntung, tapi dengan melihat semangatnya untuk menghasilkan uang dan bukan hanya untuk beliau, tapi juga untuk seluruh keluarganya. Beliau tidak melimpahkan tugas mencati nafkah hanya pada suaminya, tapi beliau juga turut menghasilkan uang untuk ia dan anak-anaknya. Sungguh sesosok perempuan yang modern kesederhanaan hidup di kota keras seperti Jakarta ini.

Jovita Ayu Liwanuru (29)

Wawancara oleh Alda dan Jovi

Ibu Haji Komariah
Pekerjaan : tukang pijat keliling komplek


Sudah berapa lama bekerja jadi tukang pijat?
Sudah sejak tahun 2000 yang lalu. Lumayan menambah penghasilan keluarga.

Biasanya sekali pijat dibayar berapa?
Macam-macam, bisa Rp.10.000,- sampai dengan Rp.50.000,- tergantung kondisi keuangan orangnya. tapi saya sih tidak pernah mematok harga pasti.

Sehari bisa memijat berapa orang?
2 sampai 5orang. Kalau lebih, saya sudah kecapekan, mijat kan butuh energi banyak juga.

Apakah ibu memang ingin menjadi seorang pemijat?
Yah bisanya begini. Saya ga sekolah jadi tidak bisa bekerja di kantor-kantor gitu. Yah yang penting bisa nyari duit dengan halal.

Jadi Ibu bekerja ini untuk membantu bapak mencari nafkah atau mengisi waktu luang ibu saja?
Ya sebenarnya saya mau membantu cari uang bapak selagi saya bisa.

Memang bapak bekerja sebagai apa?
Bapak jadi kuli bangunan.

Kalau bapak sendiri sebagai kuli mendapat penghasilan berapa?
Kalau ada pekerjaan sih biasanya bapak bisa bawa pulang Rp.200.000,-.

Memang ibu punya anak berapa?
4 orang, yang 2 sudah kawin dan gak tinggal lagi sama saya. 2 anak yang paling bungsu masih tinggal sama saya.

Apakah dengan penghasilan yang ibu dapat dan bapak dapat cukup untuk kebutuhan keluarga sehari-hari?
Insyaallah sih cukup, setidaknya bisa nyekolahin dan ngasih makan anak-anak

Pernah merasa kekurangan gitu gak bu?
Yah itu sih sering ya, Cuma yaudah disyukurin aja apa yang udah bisa di dapet. Biasanya sih saya berusaha sehemat mungkin biar ga merasa kurang melulu.

Saturday, April 26, 2008

refleksi pribadi Lidya-17

Setelah pengalaman saya bersama Irma untuk mewawancarai Ibu Tiyem, penjual mie di Cilincing, saya menyadari betapa beruntungnya saya. Saya bisa tinggal di rumah yang baik, saya bisa tidur di kamar yang dingin dan ranjang yang empuk. Saya bisa makan kapan pun saya mau. Saya tidak harus mengerjakan pekerjaan rumah, karena ada asisten rumah tangga di rumah saya. Saya bisa membeli barang-barang yang saya ingini. Saya bisa bersekolah tanpa kesulitan uang dan masih banyak yang lain. Sesuatu yang mungkin sangat sulit bisa didapat oleh Ibu Tiyem dan keluarganya. Saya menyadari betapa banyak kesempatan dan fasilitas-fasilitas untuk menunjang perkembangan diri saya. Sangat disayangkan, apabila saya menyia-nyiakan kesempatan besar yang saya mikiki ini. Padahal kewajiban saya hanyalah belajar, tidak harus mencari uang untuk sekolah atau untuk makan. Sementara anak Bu Tiyem, membantu ibunya mencari nafkah dengan berjualan mie setiap hari, sambil menunaikan tugasnya sebagai pelajar. Selama ini yang saya lakukan hanyalah mengeluh, mengeluh karena banyak tugas, banyak ulangan, tidak diijinkan berjalan-jalan bersama teman, dipaksa belajar dan lain-lain, sedangkan banyak yang di luar sana banyak orang yang memiliki kehidupan yang lebih berat. Maka, yang saya harapkan dari pengalaman saya hari ini adalah lebih bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang baik, tidak menyia-nyiakan sedetikpun kesempatan saya untuk mau maju dan terus berusaha.

refleksi pribadi viola(26)

Setelah saya bertemu dan mewawancarai anti , saya merasa kagum karena dia hanya memperlihatkan senyum dan tawa selama kami bertanya padanya. Saya semakin mendapat suatu keyakinan dari Anti setelah dia bercerita kalau dia yakin bisa hidup di Jakarta, oleh karena itu dia mau jauh-jauh datang dari NTB. Hal itu menambah keyakinan saya kalau suatu sugesti yang baik pasti akan ada hasilnya bila diperjuangkan.
Rasa syukur yang selalu diucapkan Anti juga membuat saya sedih karena saya jarang sekali mensyukuri hal-hal kecil yang saya dapat dalam hidup, padahal apa yang saya dapat lebih besar dari yang dia dapat. Ternyata orang yang kaya materi akan selalu tertunduk bila berhadapan dengan orang yang kaya hati.
Selama ini saya selalu menganggap sia-sia hidup saya jika saya tidak sukses (memperoleh pekerjaan bergengsi), namun sekarang saya dapat melihat suatu sukses baru dari Anti yang diukur dari suatu yang simple saja, yaitu mendapat pekerjaan di Mal Gading dari beribu-ribu orang yang melamar di mal tersebut dan dari berjuta-juta orang yang menganggur saat ini. Segala bentuk prestise dan status tinggi tidak penting bagi Anti, yang penting bagaimana melakukan pekerjaan yang sudah Tuhan berikan padanya dan ia yannkin hal baik akan datang secara bertahap / berproses.
Hal terakhir yang menjadi renungan saya adalah ternyata selama ini kita tidak terlalu merasakan kehadiran dan tidak menghargai orang seperti Anti. Padahal pekerjaan yang dilakukan Anti hanya dapat dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah. Buktinya kita akan selalu jijik dan menolak untuk membersihkan kamar mandi dan lain-lain. Oleh karena itu saya menjadi tersadar untuk menghargai Anti dengan tersenyum dan menggunakan toilet dengan bersih. Hmm.. pokoknya saya kagum banget sama Anti sama seperti saya mengagumi Hanung Bramantyo…

Viola