Monday, April 28, 2008

refleksi: jeanne (13)

Jumat, 25 April 2008, saya bersama teman saya, Florence mewawancarai penjual masakan padang di daerah Otto Iskandardinata. Sewaktu saya datang, Bapak Sardi sedang melayani seorang pembeli yang ingin membeli masakan Padang. Saya sedikit merasa tidak enak sewaktu ingin mewawancara beliau karena takut mengganggu aktivitasnya. Namun ternyata ia tersenyum sewaktu kami berkata ingin mewawancara beliau.
Bapak Sardi merupakan sesosok pria setengah baya yang sangat sederhana dan murah senyum. Setelah mendengar kisah hidupnya, hati saya sangat terketuk Ia sangat gigih untuk bertahan hidup. Meskipun ia hanya berjualan, dengan penghasilan yang tidak menentu, dan istrinya hanya bekerja sebagai buruh cuci, namun ia tetap berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus. Bahkan anaknya ada yang melanjutkan sampai ke jenjang SMA.
Ia mengaku bahwa penghasilannya dan istrinya seringkali dirasa kekurangan, apalagi setelah bahan-bahan pangan harganya semakin naik sekarang ini. Otomatis keuntungan yang didapat juga akan semakin berkurang. Namun, ia selalu berusaha untuk mencukupi semua kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan penghasilan yang pas-pasan tersebut.
Saya jadi merasa berdosa karena saya seringkali merasa kekurangan, dan selalu meminta ini-itu pada orang tua saya. Tetapi setelah mendengar kisah Bapak Sardi, saya jadi tergerak untuk dapat memprioritaskan apa yang menjadi kebutuhan saya dan tidak menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang kurang penting.
Semoga Tuhan selalu memberkati Bapak Sardi dan kita semua :)

refleksi: florence (08)

Pada hari Jumat, 25 April 2006, saya dan teman saya, Jeanne mewawancarai seorang penjual masakan Padang di daerah Otto Iskandardinata. Setelah saya mewawancarai Bapak tersebut saya bisa merasakan beberapa hal,ternyata berjuang untuk membiayai hidup bukanlah hal yang mudah, butuh perjuangan dan kerja keras untuk bisa mencari nafkah untuk membiayai hidup. Bapak tersebut yang sudah bekerja keras dan membanting tulang setiap harinya hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara pas-pasan. Mau tidak mau Bapak harus berhemat dan mengetatkan pengeluaran supaya semua kebutuhan yang penting dapat terpenuhi, supaya uang yang didapatkan tidak terbuang sia-sia untuk hal yang kurang mendesak.
Saya merasa bersalah dan merasa sangat kecil setelah bertemu bapak itu, saya merasa disadarkan kembali. Selama ini sering saya membeli barang-barang yang sebenarnya kurang berguna dengan uang orang tua, saya juga sering membeli barang karena lapar mata, dan nantinya tidak akan terpakai. Saya telah banyak sekali menghabiskan uang orang tua untuk hal-hal yang hanya untuk kesenangan sesaat. Padahal diluar sana banyak sekali orang yang benar-benar susah untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Bahkan banyak juga yang memenuhi kebutuhan pokok saja tidak bisa.
Maka itu kita yang kebutuhan hidupnya masih dibiayai oleh orang tua seharusnya jangan menghambur-hamburkan uang orang tua untuk sesuatu yang sebenarnya kurang penting, seharusnya kita membantu orang tua untuk berhemat.Karena orang tua sudah bersusah payah dan bekerja keras untuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kita. Orang tua juga sudah berbaik hati membiayai kita bersekolah, maka kita seharusnya belajar dengan baik dan benar , bukannya malah bermalas-malasan dan menyia-nyiakan apa yang telah diberikan orang tua pada kita.

wawancara bersama Bapak Sardi, penjual masakan padang

Florence & Jeanne (FJ): Sudah berapa lama Bapak bekerja menjadi penjual nasi padang?
Bapak Sardi (S): Yah, kira-kira dari tahun 2003 yang lalu. Lumayan untuk ngasih makan istri dan anak-anak.

FJ: Biasanya dalam sehari dapat penghasilan berapa, Pak?
S: Wah, nggak tentu juga, Mbak. Tergantung lagi banyak yang beli atau nggak. Kalau lagi ramai pembeli sehari bisa sampai Rp 150.000,00. Tapi kalau lagi sepi saya pernah cuma dapat Rp 30.000,00.

FJ: Bapak tinggalnya dimana sekarang?
S: Nggak jauh dari sini, Mbak. Di gang seberang Gereja situ.

FJ: Rumah Bapak sudah jadi milik atau masih mengontrak, Pak?
S: Saya belum mampu beli rumah, Mbak. Rumahnya masih ngontrak. Buat makan sehari-hari aja udah pas-pasan, belom lagi buat biaya sekolah anak-anak.

FJ: Apakah Bapak memang ingin berjualan nasi padang seperti sekarang?
S: Tadinya sih saya ingin kerja kantoran, Mbak. Tapi saya hanya lulusan SD. Lulusan SD seperti saya mau kerja apa di kantoran? Jadi saya milih dagang aja, Mbak. Kalau dagang kan tiap hari pasti dapet uang, meskipun nggak banyak. Yang penting saya bisa ngasih makan istri dan anak-anak saya, dan yang penting halal, Mbak.

FJ: Oh, begitu ya Pak. Kalau makanan yang dijual disini siapa yang memasak, Pak?
S: Yang memasak makanan disini istri saya, Mbak. Kebetulan istri saya memang orang Padang, jadi lumayan enak kalau bikin masakan Padang.

FJ: Apa karena itu Bapak memilih berjualan nasi padang ya, Pak?
S: Iya, Mbak. Selain itu saya liat disini belum ada yang jualan nasi padang, jadi saya milih jualan nasi padang.

FJ: Kalau istri Bapak bekerja juga atau tidak, Pak?
S: Istri saya setiap hari jadi tukang cuci rumahan, Mbak. Tiap hari dia nyuci di rumah orang-orang. Lumayan buat nambah penghasilan keluarga saya.

FJ: Penghasilan istri Bapak biasanya berapa ya?
S: Kalo istri saya dibayarnya tiap bulan, Mbak. Dari 1 rumah kira-kira dia dapet sekitar Rp 100.000,00-an. Dia kerja di 3 rumah.

FJ: Kalau boleh tahu anak Bapak ada berapa ya?
S: Anak saya ada 4 orang, yang 1 sudah kawin, dan yang 3 masih tinggal sama saya dan istri.

FJ: Apakah dengan penghasilan Bapak dan Ibu dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari?
S: Yah, Alhamdullilah selama ini saya masih bisa ngasih makan anak-anak dan nyekolahin anak-anak, Mbak. Yang satu masih SMA dan yang dua lagi masih SD.

FJ: Apakah Bapak pernah merasa kekurangan dengan penghasilan Bapak?
S: Kadang-kadang saya ngerasa kekurangan, Mbak. Tapi yah saya usahain dicukup-cukupin. Kalo ngerasa nggak cukup melulu susah juga. Abisnya mau gimana lagi, emang udah nasib begini.

FJ: Kalau begitu terima kasih atas waktunya, Pak.
S: Sama-sama, Mbak.

Begitulah wawancara kami dengan Bapak Sardi, seorang yang sangat sederhana namun tetap gigih dalam menjalani hidup.

Sunday, April 27, 2008

Refleksi dua pribadi (ehhe)

Maria Alda Prawitera

Yang pertama muncul di pikiran saya adalah bahwa saya salut akan beberapa perkataan yang telah dilontarkan ibu ini. Dia menyebutkan bahwa meskipun ia hanya jadi tukang pijat, tidak apa-apa yang penting pekerjaan itu halal. Saya sangat salut karena seperti kita ketahui sudah banyak sekali orang di Jakarta yang telah ditumpulkan hatinya oleh tuntutan kebutuhan hidup hingga mereka pun rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang termasuk dengan cara yang tidak halal sekalipun.

Ibu ini tahu bahwa misalnya dengan mencuri, atau misalnya dengan penjualan makanan palsu, ia bisa mendapat jauh lebih banyak uang. Namun apa yang terjadi? Ia bahkan tidak pernah sekalipun menetapkan harga tetap untuk pembalasan jasa yang telah diberikannya itu kepada para pelanggan.

Ia bahkan mengerti dan mengatakan, “Yah.. tergantung kondisi keuangan orangnya aja..” ia tahu ia berkekurangan. Ia bahkan mengatakan ia sering merasa seperti itu, tapi ia pun juga bia memahami kondisi keuangan orang lain. Ia tidak egois dan dengan sepenuh hati rela membantu orang dalam hal kesehatan karena faktor kurangnya pendidikan di waktu mudanya.

Selain itu, saya juga tertarik ketika ia mengatakan bahwa ia mempunyai 4 orang anak yang sudah besar-besar. Saya menyimpulkan hal itu karena dua diantaranya sudah menikah dan mempunyai keluarga masing-masing. Yang saya ingin tekankan disini adalah bahwa ia sanggup menyekolahkan anak-anaknya dari kecil hingga besar. Semurah-murahnya biaya sekolah, apa mungkin seorang tukang pijat dapat membiayai empat anak sekaligus seperti itu? Saya yakin sekali ibu ini bekerja keras, terutama dalam hal tenaga, demi keluarganya itu. Dan yang saya yakini juga, Ibu ini pasti memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi anak-anaknya. Misalnya dalam hal bekerja.

Yang keempat, saya salut sama ibu ini karena meskipun suaminya sudah berprofesi menjadi kuli bangunan yang bisa membawa pulang Rp.200.000,- sekali pekerjaan, Ia tidak tergantung pada suaminya. Ia pun ingin membantu mencari nafkah. Menurut saya, mungkin tanpa ia sadari, ini merupakan salah satu bentuk emansipasi wanita! Dimana seorang wanita (terutama seorang ibu seperti dia yang sudah berkeluarga) tidak hanya dapat duduk di dapur dan mneyajikan makanan, tetapi turut ikut mencari nafkah. Dan sekali lagi saya tekankan : Yang penting halal..

Sekian refleksi saya! Saya salut sama ibu ini dan berharap lebih banyak lagi orang-orang yang mempunyai pola pikir seperti dia..terutama bagi kaum yang berkekurangan.


Maria Alda Prawitera (18)


***

Jovita Ayu Liwanuru

Hidup ibu Haji Komariah yang sederhana itu membuat saya terbuka matanya. Bahwa masih banyak orang bekerja keras untuk mempertahankan hidup di luar sana. Mungkin ibu Haji tersebut bukan yang paling tidak beruntung, tapi dengan melihat semangatnya untuk menghasilkan uang dan bukan hanya untuk beliau, tapi juga untuk seluruh keluarganya. Beliau tidak melimpahkan tugas mencati nafkah hanya pada suaminya, tapi beliau juga turut menghasilkan uang untuk ia dan anak-anaknya. Sungguh sesosok perempuan yang modern kesederhanaan hidup di kota keras seperti Jakarta ini.

Jovita Ayu Liwanuru (29)

Wawancara oleh Alda dan Jovi

Ibu Haji Komariah
Pekerjaan : tukang pijat keliling komplek


Sudah berapa lama bekerja jadi tukang pijat?
Sudah sejak tahun 2000 yang lalu. Lumayan menambah penghasilan keluarga.

Biasanya sekali pijat dibayar berapa?
Macam-macam, bisa Rp.10.000,- sampai dengan Rp.50.000,- tergantung kondisi keuangan orangnya. tapi saya sih tidak pernah mematok harga pasti.

Sehari bisa memijat berapa orang?
2 sampai 5orang. Kalau lebih, saya sudah kecapekan, mijat kan butuh energi banyak juga.

Apakah ibu memang ingin menjadi seorang pemijat?
Yah bisanya begini. Saya ga sekolah jadi tidak bisa bekerja di kantor-kantor gitu. Yah yang penting bisa nyari duit dengan halal.

Jadi Ibu bekerja ini untuk membantu bapak mencari nafkah atau mengisi waktu luang ibu saja?
Ya sebenarnya saya mau membantu cari uang bapak selagi saya bisa.

Memang bapak bekerja sebagai apa?
Bapak jadi kuli bangunan.

Kalau bapak sendiri sebagai kuli mendapat penghasilan berapa?
Kalau ada pekerjaan sih biasanya bapak bisa bawa pulang Rp.200.000,-.

Memang ibu punya anak berapa?
4 orang, yang 2 sudah kawin dan gak tinggal lagi sama saya. 2 anak yang paling bungsu masih tinggal sama saya.

Apakah dengan penghasilan yang ibu dapat dan bapak dapat cukup untuk kebutuhan keluarga sehari-hari?
Insyaallah sih cukup, setidaknya bisa nyekolahin dan ngasih makan anak-anak

Pernah merasa kekurangan gitu gak bu?
Yah itu sih sering ya, Cuma yaudah disyukurin aja apa yang udah bisa di dapet. Biasanya sih saya berusaha sehemat mungkin biar ga merasa kurang melulu.

Saturday, April 26, 2008

refleksi pribadi Lidya-17

Setelah pengalaman saya bersama Irma untuk mewawancarai Ibu Tiyem, penjual mie di Cilincing, saya menyadari betapa beruntungnya saya. Saya bisa tinggal di rumah yang baik, saya bisa tidur di kamar yang dingin dan ranjang yang empuk. Saya bisa makan kapan pun saya mau. Saya tidak harus mengerjakan pekerjaan rumah, karena ada asisten rumah tangga di rumah saya. Saya bisa membeli barang-barang yang saya ingini. Saya bisa bersekolah tanpa kesulitan uang dan masih banyak yang lain. Sesuatu yang mungkin sangat sulit bisa didapat oleh Ibu Tiyem dan keluarganya. Saya menyadari betapa banyak kesempatan dan fasilitas-fasilitas untuk menunjang perkembangan diri saya. Sangat disayangkan, apabila saya menyia-nyiakan kesempatan besar yang saya mikiki ini. Padahal kewajiban saya hanyalah belajar, tidak harus mencari uang untuk sekolah atau untuk makan. Sementara anak Bu Tiyem, membantu ibunya mencari nafkah dengan berjualan mie setiap hari, sambil menunaikan tugasnya sebagai pelajar. Selama ini yang saya lakukan hanyalah mengeluh, mengeluh karena banyak tugas, banyak ulangan, tidak diijinkan berjalan-jalan bersama teman, dipaksa belajar dan lain-lain, sedangkan banyak yang di luar sana banyak orang yang memiliki kehidupan yang lebih berat. Maka, yang saya harapkan dari pengalaman saya hari ini adalah lebih bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang baik, tidak menyia-nyiakan sedetikpun kesempatan saya untuk mau maju dan terus berusaha.

refleksi pribadi viola(26)

Setelah saya bertemu dan mewawancarai anti , saya merasa kagum karena dia hanya memperlihatkan senyum dan tawa selama kami bertanya padanya. Saya semakin mendapat suatu keyakinan dari Anti setelah dia bercerita kalau dia yakin bisa hidup di Jakarta, oleh karena itu dia mau jauh-jauh datang dari NTB. Hal itu menambah keyakinan saya kalau suatu sugesti yang baik pasti akan ada hasilnya bila diperjuangkan.
Rasa syukur yang selalu diucapkan Anti juga membuat saya sedih karena saya jarang sekali mensyukuri hal-hal kecil yang saya dapat dalam hidup, padahal apa yang saya dapat lebih besar dari yang dia dapat. Ternyata orang yang kaya materi akan selalu tertunduk bila berhadapan dengan orang yang kaya hati.
Selama ini saya selalu menganggap sia-sia hidup saya jika saya tidak sukses (memperoleh pekerjaan bergengsi), namun sekarang saya dapat melihat suatu sukses baru dari Anti yang diukur dari suatu yang simple saja, yaitu mendapat pekerjaan di Mal Gading dari beribu-ribu orang yang melamar di mal tersebut dan dari berjuta-juta orang yang menganggur saat ini. Segala bentuk prestise dan status tinggi tidak penting bagi Anti, yang penting bagaimana melakukan pekerjaan yang sudah Tuhan berikan padanya dan ia yannkin hal baik akan datang secara bertahap / berproses.
Hal terakhir yang menjadi renungan saya adalah ternyata selama ini kita tidak terlalu merasakan kehadiran dan tidak menghargai orang seperti Anti. Padahal pekerjaan yang dilakukan Anti hanya dapat dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah. Buktinya kita akan selalu jijik dan menolak untuk membersihkan kamar mandi dan lain-lain. Oleh karena itu saya menjadi tersadar untuk menghargai Anti dengan tersenyum dan menggunakan toilet dengan bersih. Hmm.. pokoknya saya kagum banget sama Anti sama seperti saya mengagumi Hanung Bramantyo…

Viola

refleksi pribadi saphire calista(21)

Ada beberapa pelajaran yang saya dapatkan setelah saya mewawancarai seorang cleaning service bernama Anti, ntara lain:
o Setelah wawancara ini, saya jadi tahu kalau ternyata tidak ada pekerjaan yang mudah,walaupun mungkin pekerjaan itu kita anggap biasa-biasa saja. Namun setelah saya bertemu dengan Anti,saya menjadi percaya bahwa bila kita melakukan pekerjaan itu dengan sepenuh hati,maka pasti pekerjaan itu akan menjadi menyenangkan.
o Selain itu, saya menjadi sadar bahwa kita harus mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan pada kita, seperti Anti yang mensyukuri pekerjaannya walaupun ia hanya bekerja sebagai seorang cleaning service.
o Saya juga menjadi sadar bahwa kita harus bisa lebih menghargai orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Anti bahwa banyak dari customer yang memakai toilet tidak menghargai dia,banyak customer yang suka membuang tissue bekas sembarangan,ataupun mengejek dia. Padahal menurut saya Anti adalah orang yang berjasa bagi kita,kalau tidak ada Anti,pasti toilet akan menjadi amat kotor dan tidak nyaman untuk dipakai.
Itulah pelajaran yang saya dapatkan setelah saya mewawancarai Anti..

Saphire calista / 21

walaupun kecil,tapi ia tetap bersyukur

Anti yang berasala dari NTB,baru berusia 20 tahun. Setelah lulus SMA ia datang ke Jakarta bersama kedua orangtuanya. Dengan kemampuan yang ia miliki, ia yakin dapat hidup di Ibu kota. Ia bekerja sebagai seorang cleaning service toilet d salah satu mall d daerah Jakarta. Ia bercerita bahwa ia mendapatkan pekerjaan ini dari salah seorang temannya.
Saat pertama kali kami melihatnya,kami kira Anti adalah orang yang pendiam dan tidak ramah, tapi ternyata dia sangat ramah terhadap kami. Selama kami mewawancarainya,ia selau tersenyum dan tertawa sambil bercerita tentang pekerjaannya.
Saat kami bertanya apakah ia bersyukur dengan pekerjaannya ini,ia mengatakan bahwa ia mensyukuri pekerjaannya, walaupun gajinya hanya sedikit dan pekerjaan ini kurang dipandang oleh orang.
Dia juga bercerita tentang sukaduka dia selama bekerja sebagai cleaning service. “waktu pertaa kali kerja,saya dikerjain sama orang-orang yang lain,kayak disuruh-suruh gitu,hahaha,”kata anti yang bertempat tingga di daerah cilincing ini. “saya bekerja disini sebenarnya untuk mencari pengalaman dulu,baru nanti saya berencana untuk pindah kerja ke tempat lain. Sebenarnya cita-cita saya itu jadi sekertaris akuntan,”tutur anti sambil tertawa karena malu.
Ternyata bekerja sebagai cleaning service tidaklah mudah,seperti yang diceritakan oleh Anti berikut ini,”iya,kerja disini itu capek,soalnya banyak orang yang suka sembarangan dan suka ga menghargai saya. Kayak misalnya mereka membuang tissue bekas dimana-mana,jadi saya harus membersihkan lagi deh. Selain itu, kerja disini kadang ngebosenin,soalnya kita da di dalem wc terus, untung di sini dipasang musik,haha.”
Ternyata menjadi cleaning service tidak semudah yang kita pikirkan,bukan? Namun, kami kagum terhadap Anti, karena ia bias mengerjakan pekerjaannya itu dengan sepenuh hatinya,dia tidak mengeluh walaupun ia sering diperlakuakn tidak adil oleh para customer yang memakai toilet.
Inilah hasil wawancara kami bersama seorang cleaning service bernama Anti.
Terima kasih.

Saphire calista/21
Viola/26

refleksi pribadi claudia (5)

PIC_0576.JPGKeadaan Bapak Mustain dan Ibu Nisa, memang tidak seberuntung dibandingkan dengan perantau lainnya, namun dengan keadaan ini saja, mereka sudah cukup bersyukur. Dapat menyekolahkan anak mereka di kampungnya, serta mempunyai pendapatan yang mereka bilang ”alhamdulilah cukuplahh..”sudah membuat mereka dapat bertahan hidup di Jakarta yang keras ini. Dengan melihat keadaan mereka, membuat saya berpikir kembali, bahwa jaman sekarang ini ternyata sangat susah sekali untuk mendapatkan uang yang bisa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Memang banyak sekali pekerjaan yang ada yang dapat kita pilih, tapi apakah itu dapat memenuhi segala kebutuhan kita?

Selain itu saya juga belajar untuk tidak menghambur-hamburkan uang, selama ini saya dengan mudahnya untuk membeli sesuatu dengan tidak berfikir dari mana orangtua saya mendapatkan uang tersebut. Ternyata sangatlah susah sekali untuk menghasilkan uang tersebut. Mendengar penghasilan yang Bapak Mustain dapatkan, saya menjadi bingung . Apa cukup dengan uang segitu dia hidup? Belum lagi ia harus membeli bahan-bahan untuk berjualan lagi. Tapi ternyata itu cukup, mereka hingga dapat menyekolahkan anak mereka di kampung.

Kegigihan dan semangat Pak Mustain dan Ibu Nisa lah yang dapt membuat mereka dapat bertahan hidup, namun itu semua tidak lepas dari campur tangan Tuhan yang selalu membimbing dan menyertai mereka.

Claudia XI IPS 2/5

refleksi pribadi joanita cheniko (15)

Sebagai anak perantauan dari daerah yang hendak mencari keberuntungan di sesak ibukota, mereka cukup beruntung dan sanggup bertahan dari himpitan perekonomian Jakarta. Menurut saya, hal itu disebabkan karena Bapak Mustain dan Ibu Nisa sangat kompak sebagai tim. Mereka saling mendukung satu sama lain, saling berusaha memajukan diri dalam keadaan apapun dan bersama-sama berjuang agar mampu bertahan hidup. Mereka juga jeli melihat keberadaan peluang dan tekun bergelut dalam kesempatan itu.

Mungkin keadaan mereka sekarang lebih menguntungkan dibanding banyak orang yang terhempas dari mimpi akan meraih kesuksesan di ibukota, namun langkah mereka tidak terhenti sampai di sana, mereka tetap ingin terus melangkah maju. Dengan tekad dan segenggam impian mereka ingin selalu berkembang.

PIC_0576.JPGDemikian jugalah kita sebagai insan manusia bertindak, selalu bertekad untuk mengembangkan diri, memajukan kemampuan diri sendiri dan terus berusaha agar impian kita tercapai. Juga jangan cepat puas, begitu banyak tantangan hidup yang harus kita lalui, tidak boleh terhenti hanya di satu titik saja. Kita juga harus jeli dalam melihat permasalahan agar dapat menyelesaikannya dengan baik.

Ya, kita harus berjuang dengan cara dan jalan kita masing-masing, menuju ke impian hidup kita, tanpa kalah akan permasalahan yang menghadang. Sebab hidup terlalu indah untuk di sia-siakan.

Joanita Cheniko XI IPS 2_15


reflexi claudia(5) & yoan(15)

Segelas Es Podeng di Tengah Terik Sang Surya

Adalah Mustain dan Nisa, sepasang suami istri yang sehari-hari bekerja dengan berjualan aneka makanan dan minuman segar di pojok sebuah deretan kantin pada pusat kota sibuk Jakarta, tepatnya di sebelah gedung kantor pos ibukota. Pasangan yang berasal dari Pamulang, Jawa Tengah ini menjual aneka makanan yang digoreng seperti, nasi, bihun dan kuetiaw goreng. Ada yang digoreng biasa, ada juga yang spesial pakai tambahan telur goreng dan daging. Hmm, membayangkannya saja sudah membuat perut keroncongan seketika. Selain itu, mereka juga menjual aneka jus dan minuman segar, masih ada lagi yang paling istimewa dan digemari para pembeli yaitu es podengnya yang segar. Bapak Mustain mengaku memang ada resep rahasia untuk es podeng yang satu ini sehingga rasanya berbeda dengan rasa es-es yang lain. Ketika kami mencoba untuk mengetahui apa resep rahasianya, bapak berperawakan kurus tinggi tersebut hanya tersenyum misterius. Wah, jadi penasaran.

Bapak Mustain dan Ibu Nisa dikaruniai dua orang anak, yang pertama kelas 3 SD dan bersekolah di kampung mereka, Pamulang. Sedangkan yang kedua berusia 6 tahun dan tinggal bersama mereka di Jakarta. Ibu Nisa lalu dengan ramah menceritakan perjalanan usaha mereka ketika kami bertanya. Mereka (Bapak Mustain dan Ibu Nisa) suadah berkecimpung dalam kegiatan berjualan makanan dan minuman segar ini sejak 7 tahun yang lalu. 6 tahun lamanya berlokasi di sebelah gedung kesenian Jakarta dan 1 tahun terakhir berlokasi di sini. Sebelumnya, Bapak Mustain terlebih dahulu merantau ke Jakarta dan berjualan ayam bakar dan goreng di daerah sekitar hotel Indonesia. Ibu Nisa mengaku, menyewa tempat di lokasi yang lama (gedung kesenian Jakarta) itu lebih murah dan ramai akan pembeli, dibandingkan dengan lokasi yang sekarang (sebelah gedung pos ibukota) selain lebih mahal, juga cenderung sepi pembeli. Padahal hanya berjarak sedikit saja, namun memang, lokasi yang sekarang lebih di pelosok dan lebih terbatas karena kalangan pembelinya hanya dari karyawan kantor pos saja atau murid-murid sekolah sekitar.

Es podeng sebagai minuman yang paling digemari dan diminati oleh para pembeli, awalnya dipilih Bapak Mustain dan Ibu Nisa sebagai salah satu andalan di kiosnya karena belum ada yang berjualan es serupa pada deretan kantin yang ada di sekitar (diferensiasi produk) sehingga tidak heran es tersebut laris. Namun juga tidak mudah perjalanan yang dirintis dan pengalaman melihat keinginan pasar oleh Bapak Mustain dan Ibu Nisa hingga menemukan produk yang pas bagi para konsumennya. Bapak Mustain masih punya satu impian dalam berdagang, yaitu berjualan ayam bakar di tempat ini (yang kami yakini enak dan pasti laris). Selain memiliki pengalaman, Bapak Mustain juga ingin mengambil kesempatan ini karena belum ada kantin yang berjualan ayam bakar. Namun kendala terbesar adalah tidak adanya ruang untuk membakar ayam. Kios yang di tempati Bapak Mustain dan Ibu Nisa begitu kecil dan padat dan bagian depannya langsung berhadapan dengan jalan tempat berseliweran mobil-mobil pos, ya, memang tidak ada ruang lagi kelihatannya.

Setiap harinya Bapak Mustain dan Ibu Nisa datang ke kios tersebut pukul 07.00 pagi dari rumah, lalu tiba di kios pukul 07.30, kemudian berjualan hingga pukul 18.00. Soal urusan sholat, karena di gedung pos terdapat musholla, maka Bapak Mustain dan Ibu Nisa bergantian menjaga kios. Ketika kami bertanya tentang penghasilan, Ibu Nisa tampak malu-malu dan memandang ke arah Bapak Mustain terus, akhirnya Bapak Mustain menjawab kurang lebih Rp 300.000,00 per hari. Kalau ramai, per hari bisa mencapai Rp 500.000,00, tapi kalau sepi bisa dibawah Rp 300.000,00, tambah Ibu Nisa yang akhirnya angkat bicara. Cukupkah uang sejumlah itu untuk bertahan hidup sehari-hari? “Alhamdulillah, cukup.” jawab Ibu Nisa dengan sigap.

Bapak Mustain dan Ibu Nisa juga menceritakan duka pada pekerjaan mereka, jika musim hujan, pembeli sepi, sedangkan di kala musim kemarau lebih ramai. “Tapi ya, kita coba dulu di sini, dikembangkan, Insyaallah makin laris, ha ha ha...”. Juga ada impian mereka yang lain yaitu, sebagai manusia semakin maju dan membuka cabang di perumahan, yang biasanya lebih laku.

Demikianlah wawancara kami dengan Bapak Mustain dan Ibu Nisa, penjual aneka makanan dan minuman segar di pojok sebuah deretan kantin gedung pos ibukota. Selama wawancara mereka bersikap begitu ramah dan tak jarang wawancara terhenti karena mereka sibuk melayani pesanan. Namun hal yang paling mengejutkan adalah, kejelian mereka melihat peluang dalam ketatnya persaingan ibukota serta keuletan mereka untuk bertahan dan terus maju. Siapa sangka, dibalik kesegaran es podeng, terdapat oase kehidupan yang menyadarkan diri untuk terus berjuang dalam padang pasir kehidupan.

***

Claudia XI IPS 2 _05

Yoan Cheniko XI IPS 2 _15

LAPORAN KATHERINE (16) dan TESSA (25)

Selasa, 22 April 2008

Seperti biasa, kami berdua bangun pagi dan mengawali hari ini pada pukul 07.00. kami sudah membuat rencana untuk mewawancara seorang tukang ojek sepeda ontel. Setahu kami, itu hanya ada di Kota (Stasiun Kota-Jakarta Utara) jadi kami akan kesana berdua.
Udara panas ternyata. Waktu masih menunjukan pukul 10 pagi tapi udara lembab dan panas. Usaha kita tidak sia-sia naik bemo dengan dua ribu rupiah seorang dan sesak dengan udara panas serta asap kendaraan yang ’ngepul’. Awalnya kita berpikir tukang ojek sepeda yang kami cari itu sudah jarang dan sulit ditemukan. Ternyata tidak. Kami menemukan banyak sekali disana. Ada yang ’mangkal’ di depan stasiun dan di jalan Pinangsia, ada juga yang berkeliling mencari penumpang. Jadi kami langsung menghampiri satu dari mereka yang nampak tua karena kami berasumsi tua itu berpengalaman.

Kami langsung bertanya banyak hal pada beliau dan ia selalu menjawab dengan ramah. Namanya Pak Parman. Beliau telah menjalankan profesi ini sejak 27 tahun yang lalu, dimana saat itu ojek sepeda sangat diminati dan masih sedikit jumlah motor atau mobil berkeliaran di jalanan. Ketika kami bertanya mengapa beliau terus bergelut dalam profesi ini, kami dibuatnya terkejut. Beliau menjawab,” Keadaan saya yang tidak memungkinkan untuk bekerja yang lain. Kan saya cacat kakinya sejak lahir. ” Kami benar-benar kaget saat itu karena ketika kita berbicara dengan beliau, ia sedang duduk dan mengenakan sepatu boots.
Ia kemudian membuka bootsnya dan kami baru percaya. Kakinya tampak mengecil dan tidak lurus seperti kaki normal. Spontan kami bertanya, tidakkah cacatnya menjadi pengganggu dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Namun Tuhan memang adil. Beliau mengaku tidak terganggu sama sekali dan itu satu-satunya pekerjaan yang bisa ia jalani dengan baik hingga umurnya yang ke-65 tahun. Seketika hati kami terenyuh. Bahkan ada orang setegar dan segiat itu bekerja tanpa menyerah dengan kondisinya yang tidak sempurna secara fisik.

Ada yang lebih hebat lagi. Ia tidak pensiun dari pekerjaannya yang melelahkan itu karena isterinya yang stroke dan terbaring sakit dirumah. Oleh karena itu, ia harus bekerja ekstra supaya anak dan isterinya tidak kelaparan. Anak semata wayang Pak Parman masih belum mendapat pekerjaan dan kami yakin ia tidak bekerja bukan karena malas tetapi karena belum ada kesempatan. Seakan-akan beban hidup tidak kunjung selesai. Pendapatannya dari mengangkut sekitar 20 samapai 30 orang hanya berkisar antara 20 samapai 25 ribu sehari dan harus sangat irit agar semua kebutuhannya terpenuhi. Ia pun tidak mengusahakan usaha sampingan karena ia mengojek mulai pukul 5 pagi hingga pikil 6 sore.

Hari ini kami berdua mendapat satu pelajaran hidup lagi yang sangat berharga. Bersyukurlah dan jadilah pribadi yang tekun dan ulet bekerja dalam keadaan apapun dan seperti apapun diri kita. Mungkin Tuhan ingin kita memperlakukan dan menganggap hambatan, cacat, dan rasa sakit sebagai sebuah tantangan dan Tuhan selalu menyertai anak-anaknya dalam keadaan apapun. Kami terpikir diri kami yang malas dan lebih suka bersenang-senang. Padahal tubuh kami tidak cacat, orangtua kami sekuat tenaga bekerja dan kami cukup menikmatinya, dan kami bisa bersekolah.

Setelah wawancara, kami sebenarnya ingin diantar dengan sepeda itu. Tapi rasanya tubuh kami terlalu berat. Jadi kami melanjutkan perjalanan kami mengelilingi kota tua disana. Masuk keluar musium sambil merenung nilai hidup yang kami dapat hari ini.

Refleksi pribadi TESSA/25

Setelah melakukan wawancara dengan Bapak Parman, seorang tukang ojek sepeda onthel, saya sangat kagum dengan kegigihan beliau dalam menghadapi hidupnya yang penuh liku-liku. Cacat di kakinya tidak menyurutkan niatnya untuk menafkahi istri dan anaknya, malah keterbatasan tersebut disyukuri dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam menjalani profesinya (dimana dengan menjadi tukang ojek sepeda, kaki yang kuat adalah asset utama). Sejujurnya, saya tidak yakin saya bisa setegar beliau jikalau saya berada di posisinya. Bayangkan saja, di usianya yang sudah memasuki kepala enam, Pak Parman harus membuang jauh-jauh angannya untuk pensiun dan menikmati hari tua, karena beliaulah satu-satunya tumpuan hidup bagi anaknya yang pengangguran dan istrinya yang tengah sakit stroke.
Kisah hidup Pak Parman sangat menginspirasi saya untuk dapat menerima diri saya apa adanya dan untuk selalu mensyukuri apa yang kita miliki. Karena, Tuhan itu adil. Ia tahu apa yang terbaik bagi kita anak-anak-Nya. Hal yang harus kita lakukan hanyalah berusaha melakukan yang terbaik dengan segala keterbatasan kita itu, dan serahkan hasilnya pada Tuhan. Niscaya, kita pun akan menerima hasil yang maksimal bagi diri kita.
Satu hal lagi yang saya pelajari dari kisah hidup Pak Parman, adalah beliau begitu menyayangi keluarganya. Beliau rela bekerja siang malam, mengumpulkan lembar demi lembar ribuan rupiah untuk pengobatan istrinya. Hal tersebut patut kita contoh, karena bagaimanapun keluarga adalah permata yang paling berharga bagi kita.


Oleh : Tessa/XI IPS 2/25

Refleksi pribadi KATHERINE/16

Menjadi seorang sempurna memang bukan milik siapapun kecuali Tuhan. Mendengar cerita Pak Parman hari itu membuat saya kembali berpikir apakah saya seorang yang telah bersyukur? Apakah saya tekun dan punya motivasi? Banyak hal yang belum saya syukuri. Saya ternyata tidak perlu bekerja keras untuk bisa bersekolah. Saya hanya perlu berkonsentrasi bersekolah dan belajar. Tapi justru itu yang belum sempurna saya jalankan. Saya tidak cacat. Tapi saya sering bertingkah sepeperti cacat dan meminta orang lain melakukan sesuatu untuk saya, yang sebenarnya sangat bisa saya lakukan. Saya hidup berkecukupan. Tapi saya sering menghambur-hamburkan uang. Oleh karena itu saya begitu ’tertampar’ dengan cerita itu. Ada banyak hal yang Tuhan inginkan dari saya. Salah satunya dengan mendengar cerita itu, saya yakin Tuhan ingin saya bersyukur dan belajar dari ketekunan dan semangat serta tantangan yang dihadapi Pak Parman.

Oleh : Katherine XI IPS 2 / 16

Friday, April 25, 2008

Wawancara dengan Seorang Barista



Tugas Religio : Etos Kerja

Dalam tugas wawancara ini, kami mewawancarai seorang barista di Starbucks.

Inilah hasil wawancara kami.

Nama anda?

- Paulina, saya berumur 24 tahun

Mengapa kakak memilih pekerjaan ini?

- Karena saya memang suka kopi dan saya juga ingin mengetahui lebih banyak tentang kopi. Lalu saya juga ingin belajar untuk menjadi Coffee master.

Apa itu Coffe master?

- Coffee master itu orang yang mengetahui segalanya tentang kopi. Kalo di sini (Starbucks) Coffee master itu yang pake celemek warna hitam.

Sudah berapa lama kakak bekerja di sini?

- Saya sudah bekerja dari tahun 2005, jadi kurang lebih 3 tahun.

Wah, cukup lama juga ya. Selama bekerja di sini ada suka-dukanya ga, Kak?

- Pastilah ada, tapi kalo saya sih banyak sukanya ya. Soalnya di sini kan yang kerja juga rata-rata seumuran. Dukanya yah paling kalo lagi jenuh banget ato bosen. Selebihnya sih suka.

Kalo lagi jenuh, kakak ngapain?

- Saya sih biasanya menyibukkan diri. Coba-coba belajar tentang mesin-mesin kopi yang saya belum begitu ngerti. Klo ga, nanya-nanya sama coffee master.

Kakak merasakan perbedaan ga antara sekolah dan bekerja?

- Jelas, beda banget. Bekerja untuk zaman sekarang lebih sulit ya. Lebih tidak dihargai. Kalo sekolah kan ga usah pusing sama masalah duit, nah sekarang harus cari duit sendiri.

Selama kakak bekerja 3 tahun ini, dapet fasilitas apa aja?

- Ga ada ya, paling kalo cewe-cewe yang full time. Pulangnya kan malem jadi ga ada kendaraan motor, disediain transport..

Jadi kakak kerjanya full time?

- Dulu iya, sekarang sih ngga. Soalnya saya nge-double job. Klo yang full time kan ga boleh double job, jadi saya ambil yang part time.

Perolehan untuk part time brapa kak?

- Dihitungnya per 4 jam, itu Rp 40.000,00. Jadi 1 jam ya Rp 10.000,00. Padahal klo di luar negeri dibayarnya gede banget.

Pekerjaan kakak yang kedua apa?

- Saya freelance fashion designer. Jadi saya design baju, trus orang-orang beli design saya.

Apa syarat bekerja di sini?

- S1. Tapi klo lagi kuliah juga gak apa-apa kayaknya. Dibilanginnya sih S1.

Jadi kakak lulusan S1?

- Oh ngga, saya college fashion designer. Dulu sih saya di-training dulu di office selama 2 minggu trus baru turun tangan langsung.

Oh begitu, menurut kakak di sini kopi apa yang paling digemari?

- Kalo yang biji kopinya, biji kopi ferona. Kalo untuk minumannya, frappucino. Karena bisa diminum semua umur, soalnya ga pahit.

Dibuat:

Alyssa /1

Yoelitta /28

Refleksi : alyssa /1

Pada hari Rabu, 23 April 2008, saya dan Yoelitta sepakat untuk mewawancarai seorang barista di Starbucks. Dapat saya lihat betapa sibuknya mereka melayani para konsumen. Kemudian sembari membeli kopinya, kami bertanya kepada kasirnya pakah kami boleh mewawancarai salah satu barista di situ. Akhirnya kami pun diizinkan.

Barista yang kami wawancarai bernama Paulina. Dari wawancara tersebut, saya dapat melihat betapa sulitnya bekerja untuk mendapatkan uang. Untuk yang part time hanya digaji 1 jam Rp 10.000,00. Padahal pekerjaan sebagai barista tidaklah mudah. Meracik kopi dengan resep yang berbeda-beda tentulah sulit. Saya sungguh salut kepada keniatan Kak Paulina ini untuk mau mempelajari segala jenis kopi yang tentu macamnya sangat banyak. Dulunya, kak Paulina ini bekerja sebagai pegawai fulltime, namun karena Kak Paulina juga ingin bekerja sebagai fashion designer, maka Kak Paulina memutuskan untuk menjadi pegawai part time.

Dari wawancara tersebut, saya menyadari bahwa masih ada banyak orang yang tidak beruntung di dunia ini dan harus membanting tulang untuk hanya mendapatkan sesuap nasi. Saya merasa amat beruntung karena saya tidak perlu memikirkan beban ekonomi yang harus ditanggung oleh keluargaku. Saya memang tidak terjepit dalam kekurangan ekonomi, tapi saya juga cukup tahu diri untuk tidak menghambur-hamburkan uang mereka. Setelah saya tahu betapa sulitnya mencari uang, apalagi anggota keluarga saya terbilang banyak. Tidak saya pungkiri, kerap kali saya merasa iri terhadap orang yang memiliki segalanya yang tidak saya miliki. Saya akui, manusia memang tidak pernah puas, Namun saya mencoba untuk mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada saya.

Nilai – nilai yang saya dapatkan adalah kita harus mensyukuri keadaan kita sekarang ini, namun tentunya juga harus tetap berusaha meraih keinginan kita, kita tidak perlu iri kepada orang yang memiliki segalanya yang tidak kita miliki. Bagaimana pun juga Tuhan telah memberikan kita anugrah dan rezeki yang sungguh patut kita syukuri.

refleksi : Yoan Natalia ^^ Hidup itu memang perlu diperjuangkan

REFLEKSI PRIBADI dari hasil wawancara bersama Bapak Aburojak

YOAN NATALIA XI IPS 2 / 27

Setelah mewawancarai Bapak Aburojak yang merupakan seorang tukang sayur keliling di dekat rumahku ini, aku dapat menyimpulkan sesuatu dengan kata-kata yang berbunyi, ”Hidup itu memang tidak mudah. Dan hidup itu memang sesuatu yang perlu diperjuangkan, namun tetap harus dihayati.” Aku rasa di dalam hidup memang penuh rintangan dan penuh cobaan. Nah, dari segala rintangan dan cobaan itulah kita diuji untuk selalu berjuang teguh dan gigih bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang abadi. Seperti itulah aku menyimpulkan kehidupan ini setelah melihat, mengetahui, dan mendengar, serta mewawancarai langsung bapak yang memiliki aktivitas kesehariannya sebagai tukang sayur keliling di perumahan ini. Aku sungguh salut terhadap Bapak Aburojak ini. Ia mengaku bahwa ia telah berjualan sayur selama 15 tahun ini untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Wow..! Menurutku, ini merupakan suatu kerja keras yang amat luar biasa lhoo.. Dan yang aku lebih salut lagi, Bapak Aburojak ini ternyata sudah mulai beraktivitas dari jam 2 subuh hingga jam 3 sore, mulai dari mengambil barang-barang dari pasar pusat sampai menjual segala barang jualannya hingga benar-benar habis. Wow..wow..wow.. Aku benar-benar merasa salut serta kagum mendengarnya. Dan menurutku, segala kerja keras serta pengorbanan yang dilakukan Bapak Aburojak ini benar-benar patut diacungi jempol. Hehehe...

Aku sungguh benar-benar mendapatkan nilai-nilai kehidupan yang amat menonjol tampak pada aktivitas yang dilakukan Bapak Aburojak ini. Yaitu nilai kehidupan, kita semua memiliki jalan hidup kita masing-masing, dan semua arah tujuan hidup kita kelak pun memang hanya diri kita sendiri yang paling menentukannya, maka dari itu kita harus memulai mengarahkan hidup kita sejak awal. Akan jadi apakah kita, dan bagaimanakah hidup kita kelak memang hanya kita pribadi yang akan menentukan dan merasakannya kelak. Lalu, nilai kerja keras, seperti kata-kataku tadi di atas ”Hidup itu memang tidaklah mudah,” maka agar kita tidak jatuh dan terperosok, kita harus terus dan terus bekerja keras dalam hidup kita hingga pada akhirnya tujuan hidup kita dapat tercapai. Kerja keras ini dilakukan baik mulai dari hal yang kecil menuju ke hal yang lebih besar dan terus membesar. Kemudian nilai perjuangan, sebenernya nilai perjuangan hampir mirip dengan nilai kerja keras menurutku. Nilai perjuangan di sini maksudnya, kita semua manusia di dunia ini pasti memiliki berbagai rintangan dan cobaan yang menghampiri dalam hidup, nah saat cobaan dan rintangan itu datang, kita hendaknya berjuang dan terus berjuang untuk mengatasi agar dapat melewati dan keluar dari rintangan serta cobaan itu, bukannya malah kita menyerah dan berputus asa. Dan yang paling penting adalah nilai pengorbanan, nilai pengorbanan ini sangatlah penting dalam hidup. Tampak sekali dari sosok Bapak Penjual sayur ini, ia benar-benar memiliki pengorbanan diri yang amat tinggi, baik demi menghidupi dirinya sendiri, maupun demi menghidupi istri dan anak-anaknya selama 15 tahun ini. Dalam hidup, kita tidak hanya hidup sendiri, maka nilai pengorbanan ini sangat berperan penting bagi kita semua selaku makhluk sosial. Selain itu, masih banyak pula nilai-nilai yang dapat kutarik dari aktivitas dan pekerjaan Pak Aburojak, yaitu nilai kedisiplinan, nilai kasih sayang, nilai saling menghormati, saling manghargai, nilai kejujuran, dan nilai kepercayaan. Inilah nilai-nilai yang kudapat setelah bertemu dan mewawancarai seorang tukang sayur keliling yang bernama Bapak Aburojak ini.

~YOAN~

Refleksi Yoelitta-28

CERITA DIBALIK SEBUAH BAR dan APRON HIJAU

Pada hari Rabu tanggal 23 April 2008 saya dan teman sekelompok saya mewawancarai seorang Barista Starbuks di Mall Taman Anggrek. Ia bernama Paulina yang akrab kami panggil ’Kak Paulina’. Kami mewawancarai Kak Paulina dengan susana santai sambil menikmati kopi dan suasana di Starbucks, wawancara kami berlanjut sampai kami mengobrol panjang lebar kurang lebih selama satu jam. Setelah selesai mengobrol panjang dengannya saya dan teman saya mengamati kegiatan Kak Paulina yang sedang bekerja menjadi barista di Starbucks.
Kak Paulina telah menjadi barista di Starbuks sejak tahun 2005 sampai saat ini. Sudah waktu yang cukup lama tentunya, dulunya ia merupakan pegawai full time di starbucks dan ia juga telah meraih predikat cofee master karena pengetahuannya yang luas tentang kopi, sekarang ia menjadi pegawai part time di starbucks karena ia memiliki pekerjaan lain yang juga merupakan hobinya yaitu menjadi freelance fashion designer. Menurut Kak Paulina bekerja itu bukan hanya sekedar mencari uang semata, tetapi juga belajar. Belajar untuk menambah pengetahuan, seperti yang ia lakukan untuk mempelajari berbagai macam kopi sehingga ia memperoleh predikat Cofee Master.
Banyak hal menarik yang sangat berkesan bagi saya dari hasil wawancara ini, salah satunya ialah ketika saya bertanya tentang mengapa Kak Paulina memlih pekerjaan untuk menjadi barista di Starbucks, padahal pekerjaan tersebut sangat bertolak belakang dengan latar belakang pendidikannya di dunia fashion. Ia menjawab bahwa ia ingin mempelajari hal yang baru, berelasi dengan konsumen-konsumen, serta kecintaannya terhadap berbagai rasa dan aroma kopi. Dari jawabannya tersebut dapat saya interpretasikan bahwa dalam dunia kerja bukanlah melulu hanya materi yang dicari, tetapi ilmu, pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan juga dicari dan dapat ditemukan dalam dunia kerja.
Setelah saya melakukan wawancara ini, interpretasi saya tentang dunia kerja menjadi sedkit berubah, tadinya saya berpiir bahwa bekerja itu sangat sulit, sangat menyusahkan, tidak bisa bersenang-senang, selalu sibuk, individualistis, dan sangat matrealistis. Tetapi, selesai saya melakukan wawancara ini, banyak jawaban-jawaban dari Kak Paulina yang mengubah interpretasi saya, sekarang menurut saya, bekerja itu ialah salah satu sarana dan fasilitas untuk belajar secara riil, dan kita harus memilih pekerjaan yang kita sukai sehingga kita tidak merasa bosan atau stress ketika menjalani kesibukan kita karena kita menyukai hal yang kita geluti tersebut, dan dengan bekerja kita juga dapat menjalin relasi dengan banyak orang dan belajar untuk bekerja sama dengan mereka.
Nilai kehidupan yang saya peroleh dari wawancara ini ialah terus belajar, berani untuk mencoba hal baru, dan konsistensi serta disiplin dalam bekerja. Selain itu kesuksesan seseorang bukanlah tergantung apa yang ada di sekitarnya, tetapi usahanya untuk terus belajar, konsisten, dan disiplin dalam bekerja, serta ketulusan hati dalam melakukan pekerjaannya.


Bapak Aburojak, tukang sayur yang bijak ^^

Hasil Wawancara dengan Bapak Aburojak, seorang tukang sayur keliling di daerah perumahan Taman Ratu Indah, pada Rabu, 23 April 2008

Selamat siang, Pak! Maaf Pak kami menyita waktu Bapak sedikit. Kami ingin mewawancarai Bapak sebentar.
  1. Apa pekerjaan Bapak setiap harinya?

    Saya berjualan sayur, buah-buahan, kadang ada ikan juga. Dorong gerobak gini aja dari jem 2 subuh sampai nanti jem 3 sore. Dulu saya juga pernah kerja jadi sopir, jadi montir di bengkel. Tapi kemudian saya keluar karena ga bisa berkembang. Apalagi waktu itu saya baru menikah, wohh.. beban jadi nambah. Jadi, saya pindah kerjaan biar bisa cukupin kebutuhan istri dan anak juga. Terus yang paling cocok yaa jadi tukang sayur gini lah. Lumayan, meski kecil-kecilan tapi kebutuhan sehari-hari udah bisa terpenuhi. Saya udah 15 tahun jadi tukang sayur keliling.

  2. Bagaimana kehidupan sehari-hari Bapak?

    Yaa saya jualan setiap hari. Saya sih prinsipnya ”Gali lobang tutup lobang” aja deh. Yang penting gak ngutang, hehehe.. Jualan kayak gini kan juga butuh modal. Modal awal Rp 1juta / hari, 1 bulannya kira-kira Rp 30juta. Terus labanya itu Rp 500ribu / hari dan kira-kira laba 1 bulannya Rp 1,5juta, gak tentu juga setiap bulannya.

    Kalo udah di rumah, yaa bantu-bantu istri beresin rumah, nyapu, ngepel, nyuci baju. Bantu-bantu lah, pokoknya apa aja yang bisa dikerjain. Hehehe...

  3. Bagaimana Bapak menghayati pekerjaan sehari-hari Bapak ini?

    Saya sih menikmati aja apa yang ada. Saya bersyukur karena Tuhan masih ngasih pekerjaan buat saya. Biar kecil, yang penting kan halal. Banyak banget suka-duka yang saya alami selama ini.

  4. Pak, kalau boleh tahu apa sih suka-dukanya Bapak selama ini?

    Sukanya :

    - Di kala banyak yang belanja

    - Barang dagangan abisnya cepet, gak perlu sampe sore jualannya

    - Harga barang lagi stabil

    - Bisa dapet untung yang lumayan banyak

    - Ada modal buat jualan, jadi gak perlu ngutang bisa langsung jualan

    - Saya jualan keliling kayak gini kan bebas, gak ada yang ngatur, jadi semau saya mau jualan di mana, dari jem berapa, harganya berapa, saya bisa tentuin sendiri

    Dukanya :

    - Kalo yang belanja sedikit

    - Barang dagangan abisnya lama, kan barang dagangan harus abis hari itu juga, karena sifatnya cepat layu, busuk, rusak

    - Harga barang lagi tinggi / naik

    - Banyak dan lama saat tawar-menawar

    - Jualan gak lancar

    - Keuntungan gak bisa nambah

  5. Tadi kan Bapak bilang jualannya secara bebas, lalu gimana sih persaingannya dengan pedagang yang lain, Pak?

    Yaa kalo itu, kita di sini saling menghormati satu sama lain aja. Kita gak netapin pembagian daerah buat 1 pedagang. Terserah kita mau jualan di mana, tapi memang biasanya kita masing-masing udah punya langganan tetap. Kita sih bebas aja. Gak ada monopoli lah istilahnya.

  6. Bagaimana tujuan hidup Bapak?

    Saya sih yang sederhana aja, yang penting cukup untuk kebutuhan sehari-harikeluarga. Pengennya sih saya bisa buka bengkel, kerja di bengkel lagi. Tapi gimana ya..? Saya gak ada modalnya. Yaahh...yang penting keluarga bisa hidup dulu deh sekarang. Gak usah muluk-muluk.

  7. Apa cita-cita hidup Bapak kelak nanti?

    Yang pasti saya pengen anak saya bisa sekolah sampe tingkat yang lebih tinggi lagi, bisa sampe kuliah, biar pinter, bisa bersaing sama yang punya duit, biar bisa dapet kerja di kantor gitulah. Hehehe...

    Kalo buat kerjaan yaa pengen lebih berkembang lagi, lebih maju. Tapi susah banyak saingan. Gak cuma pedagang kecil kayak saya gini aja. Tapi juga supermarket-supermarket itu. Banyak lhoo pedagang kecil, pedagang kaki lima gini yang gak bisa berkembang, karena modalnya gak ada, susah dapetnya. Sekalinya dapet, pinjemnya sama rentenir, yang ada malah tambah susah kelilit utang terus, gak ada abisnya. Makin rugi..tau-tau bangkrut.. Yahh..susah deh...

  8. Apakah harapan Bapak untuk ke depannya?

    Saya sih pengennya ada subsidi dari pemerintah, kayak bantuan modal gitu buat pengusaha kecil kayak saya, terus prosedurnya juga dipermudah. Jangan malah dibelit-belitin.

    Terusa supermarket juga harus bisa mengimbangi harga pedagang kecil donk. (Maksudnya, Pak? – red.) Yaa kan sepihak mereka ngambil barang di pusat lebih banyak, jadi harganya bisa lebih murah. Sedang pedagang kecil kayak saya kan paling banter ambil 2 dus buah misalnya. Harganya lebih mahal kalo perbedaannya jauh, bisa-bisa saya gak laku. Tapi di sisi lain, saya kan juga mau ambil untung.

    Selain itu, produksi dalam negeri juga dibagusin. Jadi kita bisa bersaing sama yang luar. Selama ini produksi kita gak bisa bersaing sama produksi luar, produksi kita gak bisa dijual di luar karena mutunya gak bagus. Terus modalnya juga gak ada, jadi susah ngembangin mutunya.

  9. Yang terakhir, apakah Bapak mempunyai pesan-pesan lain yang ingin disampaikan, Pak?

    - Buat masyarakat umum :

    Kalo beli, harganya jangan mematikan, kasian sama kita-kita yang jual, Cuma pedagang kecil gini, hehehe... Kasian kalo gak bisa dapet untung, mau makan, darimana diutnya..? Hehehe...

    - Buat pemerintah :

    Seperti yang saya harapkan tadi, tolong pemerintah gampangin permodalan buat pedagang kecil kayak saya.

    - Buat pelajar :

    Belajar yang rajin, biar bisa sukses, bisa membantu membuka produk dalam negeri supaya bisa dieksport. Hehe...

    Inilah aktivitas Bapak Aburojak setiap harinya. Ia berjualan sayur keliling ke rumah-rumah para pelanggan tetapnya.

    Hasil foto kami bersama dengan Bapak Aburojak seusai mewawancarainya beberapa saat di depan rumah salah satu pelanggan tetapnya.


    HANA XI IPS 2 / 20

    YOAN NATALIA XI IPS 2 / 27

refleksi: Bekerja, Sebuah Perjuangan Hidup

Pandangan Alkitab menyatakan, bahwa manusia adalah pekerja pada
dasarnya. Jika dilihat dari pernyataan ini kita juga harus melihat bahwa “bekerja” adalah sesuatu yang wajar dan memang menjadi bagian dari hidup kita. Apa yang dilakukan oleh Pak Ari adalah sebuah pekerjaan, bagian dari hidupnya, yang demi bekerja itu sendiri ia harus merelakan sebagian besar waktu dan tenaganya demi mendapatkan penghidupan yang layak dan dapat mencukupi kebutuhan ia dan keluarganya.

Mungkin masing-masing orang berbeda, ada yang mendapatkan pekerjaan dengan gaji lebih tinggi, memakan waktu dan tenaga tidak sebesar yang dikorbankan oleh Pak Ari, tapi hal itu sama, yaitu merupakan sebuah pekerjaan. Setiap orang diberikan oleh Tuhan begitu banyak talenta untuk dikembangan bagi hidup mereka sendiri. Terlepas daripada itu, kisah hidup seputar pekerjaan Pak Ari membuat saya sadar akan pentingnya pekerjaan itu, bagaimana seharusnya orang bersyukur karena memiliki pekerjaan, dan bagaimana seharusnya hasil dari kerja keras itu kita gunakan sebaik mungkin.

Pertama, pentingnya pekerjaan. Menjadi seorang supir tentu bukanlah tujuan hidup atau cita-cita Pak Ari. Tapi apa yang ia lakukan? Ia menerima pekerjaan sebagai seorang supir pribadi dan melaksanakannya dengan baik serta melalui proses belajar, ia merasa aman dan enjoy melakukannya. Mengapa? Agar ia sanggup melaksanakan pekerjaannya dengan lebih ringan, tanpa beban, agar ia dengan senang hati dapat memenuhi segala kepentingan hidupnya. Dalam ajaran agama Islam disebutkan, kerja pada hakikatnya merupakan fitrah atau pembawaan manusia untuk menjadi sarana mencukupi kebutuhan hidupnya. Usaha atau kerja yang baik adalah bagian yang tak terpisahkan dari iman seorang muslim. Pak Ari yang juga adalah seorang muslimin menyadari hal itu dan karena itu ia jarang mengeluh. Semangat!

Kedua, jangan lupa bersyukur akan segala yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Pak Ari yang berprofesi sebagai seorang supir ini selalu bersyukur kepada Tuhan atas apa yang Dia berikan. Pak Ari tentunya melihat begitu banyak hal saat ia bekerja sebagai seorang supir, di mana ia melihat bahwa masih banyak orang yang tidak bernasib sama dengannya, banyak yang lebih buruk. Coba bandingkan dengan seorang pengangguran, apa yang terjadi? Ia akan hidup dalam ketidakpastian, ia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari melainkan bergantung pada orang lain. Bagaimana dengan diri kita sendiri? Pernahkah terpikirkan akan masa depan nanti? Karena itu, sebagai seorang pelajar, kita juga harus dapat melaksanakan kewajiban kita, bekerja diganti belajar. Bila kita melakukannya dengan senang hati, hasil yang didapat akan sangat memuaskan. Lalu, apakah kita sering merasa ada yang kurang cocok pada diri kita? kita terlalu banyak mengeluh! Harusnya kita berusaha dan bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan pada hidup kita.

Ketiga, penggunaan yang seharusnya dari hasil pekerjaan. Pak Ari bekerja agar dapat memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Ia bekerja demi kepentingan orang lain juga. Setiap hari ia harus bekerja keras, dan ia melakukannya dengan segenap hati. Dan hal itu merupakan hal yang mulia. Bekerja tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain. Kembali pada hidup kita, bagaimana dengan orang tua kita? mereka juga bekerja keras demi memenuhi kebutuhan kita juga. Tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya sendiri. Berangkat pagi pulang malam merupakan suatu perjuangan bagi mereka. Apakah kita menghayati dengan benar apa yang telah mereka berikan kepada kita? atau kita hanya menganggap mereka lebih mementingkan pekerjaan daripada anak mereka sendiri? Atau mungkin malah kita tidak pernah puas akan apa yang telah orang tua berikan pada kita? sadarlah! Mereka sungguh sangat bekerja keras untuk kita. hasil yang mereka peroleh mereka persembahkan untuk kita juga. Karena itu kita harus sangat bersyukur atas apa yang kita dapat, menggunakannya benar-benar untuk kepentingan kita, bukan hanya untuk dihambur-hamburkan. Uang tidak datang dari langit yang seenaknya bisa kita dapatkan.

Oleh karena itu, kita harus dapat menghargai mereka yang telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk bekerja. Orang-orang dengan penghasilan yang cukup dan pas-pasan adalah manusia yang harus kita hargai juga. Bukan dari seberapa besarnya hasil yang mereka dapat, melainkan seberapa besar perjuangan yang harus mereka lalui dengan lapang hati demi orang yang mereka cintai.

Teresa Riantika XI IPS 2/24

refleksi: Ia Lebih Dari Seorang Supir

Sekarang tidak ada istilah ”Ia hanya seorang supir” karena setelah melihat pekerjaan pak Ari istilah ini berubah menjadi ”Ia lebih dari seorang supir”. Melihat Pak Ari bukan saja melihat dari pekerjaannya tapi bagaimana ia menjalaninya.

Saya sekarang percaya dengan pepatah ”Ora Et La Bora”. Menurut saya orang yang bekerja tanpa berdoa adalah sombong dan orang yang berdoa tanpa bekerja adalah bodoh. Kita sebagai manusia yang hidup di dunia ini memilikki tanggung jawab untuk mempertahankan hidup kita melalui bekerja. Memang hal-hal yang rohani penting tapi untuk mempertahankan hidup kita perlu mencari uang dengan bekerja.

Apa yang dilakukan oleh seorang Pak Ari bukanlah hobi, iseng-iseng, ataupun sekedar main-main. Yang dilakukan Pak Ari adalah sebuah usaha untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup bukan untuk dirinya sendiri tapi juga untuk istri dan anak-anaknya. Pengorbanan yang diberikan Pak Ari, mengorbankan waktu dan tenaga untuk bekerja bukanlah untuk hal yang sia-sia tetapi untuk mempertahankan hidup keluarganya. Mungkin semua orang memiliki keinginan untuk bekerja di sebuah perusahaan terkemuka menggunakan dasi dan tinggal di perumahan elite. Namun, bagi Pak Ari ia tidak pernah menyesali pekerjaannya saat ini, karena menurutnya pekerjaannya sebagai supir adalah sebuah pekerjaan yang layak dan halal.

Kesederhanaan seorang Pak Ari membuat saya berpikir bahwa tidaklah sesuatu yang harus untuk memilikki sebuah pekerjaan yang memiliki harkat yang tinggi. Menurut saya pekerjaan Pak Arilah yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang anggota DPR yang korupsi. Memang jika kita melihat secara materi dua pekerjaan ini tidak bisa dibandingkan. Tapi HALALkah pekerjaan yang merugikan orang lain?? Bahkan pekerjaan ini merugikan sebuah Bangsa..

Menjadi supir pribadi bukanlah sebuah pekerjaan yang bisa dianggap remeh. Bekerja dari pukul 5 pagi hingga 6 malam bukanlah waktu yang singkat dan bukanlah hal yang ringan. Tenaga dan kesungguhan yang ditunjukkan Pak Ari membuat saya semakin menghargai pekerjaan seorang Pak Ari. Saya yakin semua orang benci untuk menunggu. Tapi menunggu adalah hal lumrah bagi seorang supir pribadi seperti Pak Ari. Mengalahkan rasa lelah menunggu adalah perkara yang sulit bagi kita, namun bagi Pak Ari lelah menunggu dalah sebuah usaha untuk bertahan hidup.

Kita hidup di kota Jakarta. Dan kita semua tahu bahwa kota Jakarta penuh dengan kemacetan yang akan selalu ada tiap harinya. Namun kesabaran Pak Ari membuatnya tetap bertahan dengan pekerjaannya saat ini. Ia menghargai pekerjaannya sebagai berkah dari Tuhan, karena kita tahu negara kita sedang marak dengan kasus kemiskinan dan kita tahu berapa angka pengangguran di Indonesia saat ini.

Menjadi seorang supir pribadi tidak membuat Pak Ari menghilangkan cita-citanya. Walaupun saat ini pekerjaannya adalah supir pribadi, ia masih memilikki cita-cita untuk menjadi seorang yang sukses dengan membuka sebuah toko. Saya sangat percaya dengan istilah ”kenyataan datang dari sebuah impian”. Dan saya percaya bahwa dengan suatu kerja keras dan usaha impian seseorang dapat tercapai.

Rasa belum puas yang ditunjukkan pak Ari menurut saya merupakan salah satu tanda bahwa ia memilki keinginan yang besar untuk terus maju dan terus menaikkan taraf hidupnya demi anak dan istrinya.

Pekerjaan adalah hal yang sulit didapat dan terkadang sulit dipertahankan namun dengan suatu keyakinan pekerjaan akan menjadi sebuah berkah dan jadi hal yang menyenangkan.

Sely Nikita XI IPS 2/ 22

Bersyukurkah Anda Dengan Pekerjaan Anda?


Pekerjaan mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang langka bagi masyarakat Indonesia saat ini. Krisis tahun 1998 yang masih berkepanjangan sampai saat ini memberi dampak bagi rakyat Indonesia. Jutaan orang Indonesia hidup tanpa pekerjaan.

Sebuah keberuntungan bagi seorang Arianto. Bapak Arianto adalah salah satu dari masyarakat Indonesia yang beruntung mendapatkan pekerjaan sebagai seorang supir pribadi. Menjadi supir pribadi mungkin bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan bukanlah pekerjaan yang tidak menguras tenaga. Namun bagi pria 26 tahun ini menjadi seorang supir pribadi adalah berkah karena atas pekerjaan inilah sampai saat ini ia bisa menghidupi istri dan satu orang anaknya.

Kegiatannya sebagai seorang supir pribadi memiliki jam kerja yang cukup panjang. Apabila kita membandingkan dengan pekerja kantoran yang hanya bekerja dari sekitar pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore, jam kerja Bapak Ari (sapaan yang biasa digunakan) dimulai sejak pukul 5 pagi hingga pukul 6 malam. Pukul 6 malam pun bukanlah waktu yang rutin, karena jam kerja supir pribadi disesuaikan dengan kegiatan dari sang ”pemberi kerja”.

Kegiatan Bapak Ari dimulai dengan bangun pada pukul 4 pagi. ”Biasanya sampai di tempat kerja sekitar jam 5 lewat, saya mencuci mobil, atau kalau datang agak siang hanya mengelap mobil. Kira-kira jam setengah enam, saya mengantarkan Ibu ke kantor bersama 2 anaknya yang saya antarkan ke sekolah. Pertama saya mengantarkan anaknya yang SMP di daerah Jatinegara, Jakarta Timur, lalu saya mengantarkan anaknya yang SMA di daerah Lapangan Banteng, baru mengantarkan Ibu ke kantornya di Jl. Veteran, Jakarta Pusat. Saya pun menunggu sampai anaknya yang SMP pulang, lalu saya antarkan ke rumah. Dari rumah, saya menjemput anaknya yang SMA di sekolahnya lalu mengantarkan ke rumah. Sekitar sore hari jam 3-3.30 baru saya menjemput Ibu di kantornya. Sampai di rumah saya mencuci mobil lagi lalu pulang.” Jadwal yang dipaparkan Bapak Ari mungin mencengangkan bagi kita. Tak pernah ada di bayangan kita akan memiliki sebuah pekerjaan yang begitu melelahkan. Dengan jam kerja yang padat ini Pak Ari menuturkan bahwa ia tidak memiliki waktu untuk pergi ataupun jalan-jalan bersama keluarga ataupun teman-temannya.

Namun pria kelahiran Purwokerto ini mengaku santai dan menikmati pekerjaannya sebagai seorang supir pribadi. Karena menurutnya menjadi seorang supir pribadi merupakan pekerjaan halal dan juga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Walaupun ia sudah memilikki pekerjaan tetap sebagai seorang supir pribadi, Pak Ari tetap memilikki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pak Ari biasa menjadi seorang perantara bagi orang-orang yang ingin membeli handphone bahkan mobil. Memiliki jaringan sosial yang luas membuat Pak Ari bisa mendapat tambahan pendapatan dari transaksi jual-beli tersebut.

Manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah puas. Begitu juga dengan pria yang memiliki cita-cita menjadi orang sukses ini. Pak Ari memiliki keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih dari pekerjaannya sekarang. Ia memiliki cita-cita untuk memiliki sebuah toko yang menjual sparepart mobil. ”Cita-cita saya ya mungkin mau membuka usaha, sayangnya tidak ada modal. Ingin usaha dagang begitu, mungkin buka toko sparepart mobil atau motor. Ya ujung-ujungnya sih ke mobil lagi. Hahaha”

Dari semua hal pada diri Pak Ari kita dapat mengatakan bahwa semua pekerjaan akan menjadi baik apabla kita bisa menikmati pekerjaan tersebut. Bersyukurlah bagi anda yang sampai saat ini diberikan kesempatan untuk memiliki sebuah pekerjaan.

Sely Nikita XI IPS 2/22
Teresa Riantika XI IPS 2/24

Refleksi: Anne (02)

Dari wawancara saya dan Fani dengan Mas Yadi, saya menyadari bahwa bekerja bukanlah sekadar mencari uang dan ketenaran, tapi berusaha memberikan apa yang terbaik dari diri kita pada orang lain lewat hal-hal yang kita kerjakan. Meskipun mungkin kita harus berkorban untuk itu.

Refleksi: Stefani (23)

Setelah mewawancarai Mas Yadi, ada beberapa hal yang saya dapatkan. Pertama, saya menyadari bahwa bekerja itu tidak mudah. Mas Yadi harus bangun pagi-pagi dan pergi ke Pasar Senen untuk membeli bahan-bahan berdagangnya. Setelah itu, ia berjualan dari pagi sampai sore.Berjualan seharian seperti itu tentu tidak selalu menyenangkan. Apalagi jika tidak ada pembeli, tentu akan sangat membosankan.

Meskipun sekarang usahanya sudah cukup berhasil, awalnya pasti tidak semudah itu. Selain itu, beliau tentu mempunyai beban yang cukup berat karena harus menghidupi istri dan anaknya di tengah kerasnya hidup di Jakarta. Mas Yadi mungkin masih beruntung karena pendapatannya masih cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Tetapi di luar sana pasti masih banyak orang yang tidak seberuntung dirinya.

Kedua, saya belajar untuk menghargai orang-orang seperti Mas Yadi. Saya jadi tidak meremehkan orang-orang dengan pekerjaan yang kelihatannya mudah. Pekerjaannya memang tidak terlalu sulit, menjual jus buah dan es campur. Tetapi, tentu tetap membutuhkan keahlian tersendiri. (Buktinya, saya tidak bisa membuat jus seperti beliau..)

Dari wawancara ini saya menyadari bahwa saya harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. (seperti kata pepatah: no pain, no gain..) Saya juga harus memiliki beberapa keahlian dasar yang mungkin tidak kita rasa perlu sebelumnya, misalnya: membuat jus.., siapa tahu sewaktu-waktu dibutuhkan. Karena kita tidak tahu bagaimana jalan hidup kita kelak..