Kami berbincang dengan Bu Tiyem dalam waktu yang relatif singkat, namun kami dapat menemukan suatu ‘perjuangan’ Bu Tiyem untuk bekerja. Setiap hari Ibu Tiyem bangun pukul empat subuh, pergi ke pasar, dan berbelanja bahan-bahan untuk dagangannya. Lalu Ia pulang dan memasak, sekitar pukul 9 pagi Ia membuka warungnya dan melayani pelanggan hingga pukul 9 malam. Bu Tiyem yang tampak sangat muda ini ternyata sudah memiliki delapan anak, lima di antaranya sudah menikah dan mempunyai anak pula. Tiga anaknya masih bersekolah di SMP dan SMEA. Ia berkata bahwa suaminya sudah tidak ada, dan kami sangat salut akan perjuangannya memenuhi hidup keluarganya, hingga dapat menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi. Padahal, Bu Tiyem bertempat tinggal di tempat yang sangat tidak kondusif, dimana sampah berserakan dimana-mana, anak-anak muda merokok, air sungai yang nampak berwarna hitam kental, dan sebagainya. Bu Tiyem menjual mie ayamnya dengan modal satu ekor ayam, air matang, tepung terigu, air abu, sayur mayur, kecap, serta bumbu lain-lain, yang kira-kira totalnya Rp.50.000,- sedangkan beliau paling banyak menjual sekitar 20 porsi per hari, dengan harga Rp. 4.500 saja. Maka keuntungan per bulan yang Ia dapat maksimal hanyalah Rp. 1.200.000,- . Mungkin angka tersebut cukup besar, namun dengan tanggungan diri sendiri serta dua orang anak usia sekolah, Bu Tiyem tidak dapat menyisihkan uangnya untuk ditabung. Hal ini disebabkan harga kebutuhan sehari-hari di Jakarta sangatlah mahal, sebagai contoh harga minyak tanah yang tinggi, sedangkan Bu Tiyem menggunakan kompor minyak tanah. Susahnya air bersih, dan harga tepung terigu yang makin naik. Sungguh susahnya hidup Bu Tiyem.
Dapat kita lihat bagaimana Bu Tiyem membanting tulang dan memeras peluh demi keluarganya, tanpa suami yang mendampingi dan dengan usia yang makin menggerogoti tubuhnya. Betapa semangat dan pengabdiannya dalam hidup ini, membuat kami kagum kepada Ibu Tiyem. Bu Tiyem adalah pahlawan bagi keluarganya. Semoga Bu Tiyem dan keluarganya selalu hidup berkecukupan.
Irma ( XI IPS 2/12)
Lidya( XI IPS 2/17)
Thursday, April 24, 2008
Peluh demi Keluarga
Kami berjalan di bawah matahari siang yang terik, ketika kami menemukan Bu Tiyem. Di sebuah ‘gubuk’ reyot daerah nelayan miskin di Cilincing, di atas aliran sungai kotor dengan sampah menumpuk, berdiri warung mie ayam milik Ibu Tiyem, dengan lantai dari papan yang jarang, dimana kita dapat melihat air sungai kotor yang mengalir di bawahnya. Saat kami menyapa Bu Tiyem, Ia langsung sumringah dan tertawa malu ketika kami mengutarakan maksud kami datang ke warungnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment