Thursday, April 24, 2008

refleksi irma

Ketika Lidya dan saya pertama kali menginjak kedai mie ayam Bu Tiyem di daerah kumuh Cilincing, kami merasa ngeri dengan derak-derak papan kayu yang tampak rapuh. Kami dapat melihat air sungai yang keruh mengalir di balik papan-papan tipis tersebut. Lalu kami pun duduk di bangku kayu dan memperkenalkan diri kepada Bu Tiyem, wanita setengah baya dengan tampilan sederhana. Setelah wawancara berakhir,saya betul-betul merasa malu. Saya malu karena selama ini saya mendapat fasilitas yang sangat lengkap, hidup berkecukupan, bahkan kadang berlebih, dan saya tidak harus berusaha sedemikian rupa hanya untuk sesuap nasi. Kewajiban saya sekarang hanyalah menjadi pelajar yang baik, dan memikirkan masa depan, tidak memikirkan apakah nanti sore saya makan atau tidak. Namun kadang rasa malas mengalahkan segala semangat saya dalam menuntut ilmu, dan saya selalu menginginkan lebih dan lebih, tidak pernah puas dengan apa yang kini saya miliki. Saya kadang kali berpikir mengenai hiburan, bersantai dan lain-lain ketimbang belajar, menghemat, atau belajar menjadi ‘susah’. Bu Tiyem membuat saya prihatin sekaligus kagum, karena ketekunannya pada pekerjaan yang untungnya tidak seberapa, hanya cukup untuk engisi perut dan menyekolahkan anaknya di sekolah kejuruan. Dari hal-hal di atas, saya ingin pada suatu hari, ketika saya bekerja, saya dapat menerapkan etos kerja serta semangat Bu Tiyem. dan memperhatikan orang-orang ‘kecil’ seperti Bu Tiyem. Bu Tiyem yang hanya seorang penjaja mie ayam rebus di daerah kumuh dan penuh sampah Cilincing ternyata banyak mengajarkan prinsip-prinsip yang berguna bagi hidup. Bu Tiyem mengajarkan kerja keras, semangat, dan rela berkorban untuk orang-orang yang Ia cintai. Semoga apa yang diajarkan Bu Tiyem kepada saya dan Lidya berguna bagi kami suatu hari kelak.


IRMA SAVITRI SANI (XI IPS 2/12)

1 comment:

Sebelas IPS Dua - The Reflection said...

Setelah pengalaman saya bersama Irma untuk mewawancarai Ibu Tiyem, penjual mie di Cilincing, mata saya 'terbuka', menyadari betapa beruntungnya saya. Saya bisa tinggal di rumah yang baik, saya bisa tidur di kamar yang dingin dan ranjang yang empuk. Saya bisa makan kapan pun saya mau. Saya tidak harus mengerjakan pekerjaan rumah, karena ada asisten rumah tangga di rumah saya. Saya bisa membeli barang-barang yang saya ingini. Saya bisa bersekolah tanpa kesulitan uang dan masih banyak yang lain. Sesuatu yang mungkin sangat sulit bisa didapat oleh Ibu Tiyem dan keluarganya. Saya menyadari betapa banyak kesempatan dan fasilitas-fasilitas untuk menunjang perkembangan diri saya. Sangat disayangkan, apabila saya menyia-nyiakan kesempatan besar yang saya mikiki ini. Padahal kewajiban saya hanyalah belajar, tidak harus mencari uang untuk sekolah atau untuk makan. Sementara anak Bu Tiyem, membantu ibunya mencari nafkah dengan berjualan mie setiap hari, sambil menunaikan tugasnya sebagai pelajar. Selama ini yang saya lakukan hanyalah mengeluh, mengeluh karena banyak tugas, banyak ulangan, tidak diijinkan berjalan-jalan bersama teman, dipaksa belajar dan lain-lain, sedangkan banyak yang di luar sana banyak orang yang memiliki kehidupan yang lebih berat. Maka, yang saya harapkan dari pengalaman saya hari ini adalah lebih bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang baik, tidak menyia-nyiakan sedetikpun kesempatan saya untuk mau maju dan terus berusaha.