Saturday, April 26, 2008

LAPORAN KATHERINE (16) dan TESSA (25)

Selasa, 22 April 2008

Seperti biasa, kami berdua bangun pagi dan mengawali hari ini pada pukul 07.00. kami sudah membuat rencana untuk mewawancara seorang tukang ojek sepeda ontel. Setahu kami, itu hanya ada di Kota (Stasiun Kota-Jakarta Utara) jadi kami akan kesana berdua.
Udara panas ternyata. Waktu masih menunjukan pukul 10 pagi tapi udara lembab dan panas. Usaha kita tidak sia-sia naik bemo dengan dua ribu rupiah seorang dan sesak dengan udara panas serta asap kendaraan yang ’ngepul’. Awalnya kita berpikir tukang ojek sepeda yang kami cari itu sudah jarang dan sulit ditemukan. Ternyata tidak. Kami menemukan banyak sekali disana. Ada yang ’mangkal’ di depan stasiun dan di jalan Pinangsia, ada juga yang berkeliling mencari penumpang. Jadi kami langsung menghampiri satu dari mereka yang nampak tua karena kami berasumsi tua itu berpengalaman.

Kami langsung bertanya banyak hal pada beliau dan ia selalu menjawab dengan ramah. Namanya Pak Parman. Beliau telah menjalankan profesi ini sejak 27 tahun yang lalu, dimana saat itu ojek sepeda sangat diminati dan masih sedikit jumlah motor atau mobil berkeliaran di jalanan. Ketika kami bertanya mengapa beliau terus bergelut dalam profesi ini, kami dibuatnya terkejut. Beliau menjawab,” Keadaan saya yang tidak memungkinkan untuk bekerja yang lain. Kan saya cacat kakinya sejak lahir. ” Kami benar-benar kaget saat itu karena ketika kita berbicara dengan beliau, ia sedang duduk dan mengenakan sepatu boots.
Ia kemudian membuka bootsnya dan kami baru percaya. Kakinya tampak mengecil dan tidak lurus seperti kaki normal. Spontan kami bertanya, tidakkah cacatnya menjadi pengganggu dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Namun Tuhan memang adil. Beliau mengaku tidak terganggu sama sekali dan itu satu-satunya pekerjaan yang bisa ia jalani dengan baik hingga umurnya yang ke-65 tahun. Seketika hati kami terenyuh. Bahkan ada orang setegar dan segiat itu bekerja tanpa menyerah dengan kondisinya yang tidak sempurna secara fisik.

Ada yang lebih hebat lagi. Ia tidak pensiun dari pekerjaannya yang melelahkan itu karena isterinya yang stroke dan terbaring sakit dirumah. Oleh karena itu, ia harus bekerja ekstra supaya anak dan isterinya tidak kelaparan. Anak semata wayang Pak Parman masih belum mendapat pekerjaan dan kami yakin ia tidak bekerja bukan karena malas tetapi karena belum ada kesempatan. Seakan-akan beban hidup tidak kunjung selesai. Pendapatannya dari mengangkut sekitar 20 samapai 30 orang hanya berkisar antara 20 samapai 25 ribu sehari dan harus sangat irit agar semua kebutuhannya terpenuhi. Ia pun tidak mengusahakan usaha sampingan karena ia mengojek mulai pukul 5 pagi hingga pikil 6 sore.

Hari ini kami berdua mendapat satu pelajaran hidup lagi yang sangat berharga. Bersyukurlah dan jadilah pribadi yang tekun dan ulet bekerja dalam keadaan apapun dan seperti apapun diri kita. Mungkin Tuhan ingin kita memperlakukan dan menganggap hambatan, cacat, dan rasa sakit sebagai sebuah tantangan dan Tuhan selalu menyertai anak-anaknya dalam keadaan apapun. Kami terpikir diri kami yang malas dan lebih suka bersenang-senang. Padahal tubuh kami tidak cacat, orangtua kami sekuat tenaga bekerja dan kami cukup menikmatinya, dan kami bisa bersekolah.

Setelah wawancara, kami sebenarnya ingin diantar dengan sepeda itu. Tapi rasanya tubuh kami terlalu berat. Jadi kami melanjutkan perjalanan kami mengelilingi kota tua disana. Masuk keluar musium sambil merenung nilai hidup yang kami dapat hari ini.

No comments: