Hari ini aku dituntut membuat refleksi untuk tugas religiositasku. Berpedoman pada wawancara yang telah kulakukan sebelumnya, aku pun membuat refleksi ini. Seperti hasil wawancara di atas, Tono hanyalah satu dari jutaan kisah di Jakarta yang mencoba bertahan hidup dengan segala kekuatan yang dimilikinya.
Aku juga salah satu manusia yang punya kisah. Aku bertahan hidup di Jakarta, bergulat dengan semua masalah-masalah yang ada. Mungkin tak seberat Tono, ataupun orang lain yang mungkin nasibnya jauh lebih buruk. Aku punya keluarga yang ada di dekatku, aku punya orang tua yang memfasilitasiku dengan segala kemudahan, aku juga punya teman-teman yang senantiasa membantuku jika kesulitan, dsb.
Sebagai salah seorang warga Jakarta, aku termasuk beruntung. Mengapa begitu? Lihat saja, di sana sini banyak sekali pengemis, gelandangan, pemulung, dan orang-orang miskin lainnya. Jangankan untuk tidur, makan pun mereka kadang tak mampu. Hidup mereka sehari-hari, tak tahulah harus digantungkan kepada siapa.
Di samping itu, banyak anak kecil yang kekurangan secara finansial, berjuang untuk sekolah. Namun keadaan memaksa mereka untuk putus sekolah, dan memilih untuk membantu orang tua mereka mencukupi kebutuhan keluarga, atau at least, kebutuhan mereka sendiri.
Banyak juga anak muda Jakarta yang mungkin kaya, tapi menghamburkan uang orang tuanya tak karuan, atau menikmati rokok dan candu, atau ganja. Menikmati minuman di club malam, menikmati jasa prostitusi, atau lain sebagainya.
Aku merasa amat beruntung jika kubandingkan diriku dengan mereka itu. Setidaknya, hidupku tak terjepit oleh kekurangan ekonomi, walaupun aku tidak kaya-kaya amat. Aku merasa beruntung aku bisa menjadi diriku yang sekarang.
Aku tak perlu berpikir, besok makan atau nggak ya? Besok bisa berangkat ke sekolah atau nggak ya? Besok bisa beli ganja nggak ya? Besok.. Besok... Dan seterusnya...
Di umurku yang sekarang ini, aku tak perlu memikirkan beban yang ditanggung orang tuaku untuk menghidupi kami sekeluarga. Aku sadar, di siang hari ini juga, banyak anak seusiaku yang sedang mengais rejeki hanya untuk makan hari ini. Tono salah satunya.
Aku tinggal menggunakan fasilitas yang ada, termasuk fasilitas komputer dan seperangkat internetnya untuk mengerjakan tugas, tanpa harus menghitung-hitung listrik yang disedotnya.
Terlalu banyak keberuntungan yang kurasakan memang. Tapi tak kupungkiri, aku tak selalu berpikir bahwa aku beruntung. Pasti ada masa di mana aku merasa penuh kekurangan, tak punya ini itu, dan tentunya tidak bersyukur atas keadaan sekarang. Saat itu, pasti aku sedang berusaha melihat ke atas, dan melihat keadaan orang-orang makmur lainnya.
Saat-saat seperti itu memang selalu terjadi, tak mungkin tidak. Tapi aku mau belajar, bahwa manusia memang tak akan pernah puas. Tak akan ada habisnya melihat rumput tetangga yang lebih hijau, dan berharap-harap mendapatkan sesuatu yang sama. Aku mau melihat lagi. Berkaca. Bahwa aku adalah makhluk beruntung. Sudah sepantasnya aku bersyukur. Dan menerima diriku dengan semua keadaan ini, apa adanya.
Semua orang pasti bisa menerima dirinya apa adanya, termasuk juga aku dan kamu. Hanya saja, kita harus mau meliat apa kelebihan diri sendiri, tidak terus-menerus melihat kelebihan orang lain. Mungkin, orang berpikir bahwa refleksi ku kali ini mau mengajarkan untuk tidak berharap akan sesuatu yang lebih - terima saja kondisi sekarang. Tapi bukan itu intinya.
Nikmati saja hidup kita yang sekarang. Syukuri saja apa yang sudah kita punya. Berhentilah menggerutu karena kita iri dengan apa yang orang lain miliki.
Tuhan punya sesuatu yang lebih besar dari apapun, yang akan mencukupi kita hari lepas hari. Saat kita menyerahkan semuanya kepada Tuhan, niscaya Dia yang akan memberikan yang terbaik pada waktunya.
No comments:
Post a Comment